Diah Fatimatuzzahra
4:22:00 PM
|
“Ayaaaahhhhhhhhhhh
aku datangggggg!!!!!!”
|
Perjalanan
panjang telah membawaku pada peran seorang istri sekaligus ibu bagi kedua
putriku. Ya, sang waktu telah mendewasakanku dan jadikanku ibu tertangguh bagi
keduanya. Memang benar kata ibu, masa lalu tak pernah miliki hak tuk halangi
seseorang menjadi berbeda di masa depannya.
“Masa
lalu ya masa lalu. Biarkan itu berlalu! Sekarang kau hidup di masa yang tak
lagi seperti dulu nak! Jadi jangan biarkan masa kelammu itu membungkammu dalam
ketidakberdayaan! Kau harus berjuang! Seperti ayahmu dulu!”
kata ibu yang selalu tertanam dalam memori.
***
Aku
mulai lelah menunggu. Menanti detakan jarum jam di tanganku yang sedari tadi
berputar teramat pelan. Ini benar-benar perjalanan terpanjang bagiku. Jalur rel
kereta api yang membentang dari ujung
timur pantai utara hingga pertengahan pulau jawa telah kulewati, namun kereta api
bisnis ini tak kunjung berhenti. Aku benar-benar lelah menanti. Bayang-bayang
masa lalu mendorongku untuk ingin segera beranjak dan meluapkan rindu di kota
lama penuh kenangan itu. Sementara suamiku yang sedari tadi menjagaku di sisi
kirinya, hanya geleng-geleng menyaksikan ulahku yang tak henti-hentinya
menggerutu. Ia tak banyak tanya, karna memang sebelumnya aku selalu marah bila
ia tanya macam-macam tentang tujuanku di perjalanan kita kali ini. Yang ia
lalukan hanyalah tenangkanku dalam rangkulan hangatnya, lalu meyakinkan bahwa
ialah dia, sang suami yang seharusnya menjadi tempatku berbagi –suka maupun
duka. Sementara yang ku katakan hanyalah janji. Seribu janji yang selalu
kulontarkan bahwa suatu saat aku pasti akan berbagi. Suatu saat. Di suatu
tempat, pada waktu yang tepat. Aku akan berbagi.
30
menit berlalu. Akhirnya kereta itu membawaku pada tujuan. Ya, ia berhenti
persis pada saat dimana senja dan sayup-sayup patah mulai terdengar. Aku pun
berlari menggandeng suami terkasihku untuk keluar gerbong. Berlari.. terus
berlari hingga ku temui sebuah plang besar bertuliskan “Stasiun Kereta Api
Tawang Semarang”.
|
-TAWANG.
Satu kata penuh kenangan.
|
Dug.
Kakiku seketika berhenti melangkah. Lalu ku pandangi tulisan itu, meresapinya
dalam-dalam sembari menekan kedua sudut mata agar butiran air yang mulai
mencair tak sampai mengalir. Aku khawatir bila suamiku tahu. Aku benar-benar khawatir bila suamiku tahu –sesuatu
di balik air mataku.
---
***
20:30
WIB.
Kita
duduk berdua. Tepat di tepi polder Tawang yang tak jauh dari penginapan. Aku
bersender di bahunya. Menikmati indahnya kerlap-kerlip kota, pun semilir udara
malam yang dengan ramahnya menyapaku
melalui sentuhan lembut penuh kehangatan.
[Hening]
Aku
mulai bercerita. Kataku pada abang,
“Dulu,
35 tahun lalu ayah dan ibu juga seromantis ini. Duduk berdua menikmati indahnya
suasana malam di kota ini. Persis di tempat ini. Aku dan kak Panji pun tak mau
kalah, kita sama-sama unjuk kemesraan di depan mereka. Sampai-sampai tak jarang
orang di sekeliling kota mengira bahwa kita adalah sepasang kekasih, sama
sekali tak nampak bila sebenarnya adik-kakak. Kita teramat dekat bang.. Kerap
sekali kita menghabiskan waktu berdua di kota tua ini. Berlarian kesana-kemari
menyusuri tiap-tiap bangunan kuno itu, pun bangunan tersadis itu. Ak.. …”
“Bangunan
kuno? Bangunan tersadis? Maksudmu?” potong
suamiku.
Aku
memejamkan mata. Mencoba tenangkan rindu yang mulai meronta. Mencoba menepis
bayang-bayang kelam tuk jawab tanyanya, “Bangunan-bangunan kuno itu.. …”
Ahh aku tak berhasil. Air mataku berderai. Kali ini aku benar-benar tak bisa sembunyikan
kecengenganku di depannya.
Tanda
tanya di benaknya pun semakin menjadi-jadi. Ingin ia luapkan, tapi ia mencoba
meredam. Ya, ia memang begitu. Selalu punya cara tuk tenangkan hati istri. Ia
merangkulku dan memegang erat jemariku. Sementara yang ia katakan hanyalah, “Menangislah
dik, kau boleh menangis sejadi-jadimu. Menangislah hingga bebanmu berlalu. Menangislah
bila itu dapat tenangkan hatimu. Menangislah.. tapi jangan kau lupakan ini, ini
bahuku. Bahu suamimu, –tempatmu menyandarkan semua bebanmu.”
15
menit berlalu.
Waktu
yang terbilang singkat itu ternyata mampu meredakan sesak di dada. Kala itu aku
putuskan untuk beranjak dari tempat itu. Aku menggiring suamiku untuk berpetualang
menjelajahi tempat-tempat indah lainnya. Aku terbayang suatu tempat. Lalu ku
ajaklah suamiku ke tempat itu. Kita menyusuri Jl. Cendrawasih yang lumayan
panjang. Sembari berjalan, aku mulai bercerita lagi,
“Bang,
abang tahu sejarah kota Semarang? Tahu
sejarah kota lama?”
“Kota
lama sih tahu dik, peninggalan Belanda kan? tapi tak tahu kalo sejarah
detailnya.. sebenarnya abang mau tahu sejarah lengkapnya, tapikan tiap kali
abang singgung ini dik Lastri selalu pasang muka tak enak. Sebenarnya ada apa?
”
“Dulu
sekali, setelah peristiwa pemberontakan Trunojoyo berakhir, kota Semarang resmi
jadi hak milik Belanda. Kala itu kerajaan Mataram menyerahkan daerah ini pada
VOC sebagai imbalan karna VOC sudah membantu Mataram di pemberontakan Trunojoyo.
Mulai dari situlah Belanda mengadakan pembangunan di kawahan kota lama ini. Ada
gedung pemerintahan, perkantoran, tempat peribadatan, rumah-rumah warga, dan
masih banyak lagi. Coba abang tengok kanan-kiri, serasa berada di Eropa tak?
Bangunan-bangunan di sini benar-benar mirip miniatur Belanda bang.. unik dan
indah sekali..!”
“Iya
dik, abang baru pertama kali lihat kawasan peninggalan Belanda macam ini. Tapi
abang heran, kenapa dik Lastri selalu sedih bahkan menangis kalau abang
singgung kota lama ini?”
Pertanyaan
abang kali ini membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku serasa di sekak oleh
pertanyaan yang sekian puluh tahun selalu kuhindari. Memang ini bukan kali
pertama abang tanya tentang hal ini. Tapi tiap kali ia tanya, akan selalu bisa
berkelip. Dan kali ini, ahh aku benar-benar ingin meluapkan segalanya. Kisah di
masa lalu itu. Kisah yang tak pernah kuceritakan pada orang-orang di masa
depanku, termasuk suamiku sendiri.
“Hmm..
kan Lastri pernah menetap di sini bang. Tak lama sih, tapi kota ini
meninggalkan banyak kenangan buat Lastri.” kataku
berusaha tepiskan kegundahan.
Tak
terasa obrolan kita mengenang masa lalu Semarang itu telah membawa langkah kita
pada jalan panjang yang menyimpan banyak kenanganku di masa lalu. Rinduku
semakin menjalar. Di Jl. Letjen Suprapto itu ku percepat langkahku. Abang pun
begitu. Jalan kaki di malam hari ternyata melelahkan juga. Tapi kita tetap
menikmati moment itu. Aku pun melanjutkan ceritaku. Aku memperkenalkan
gedung-gedung yang berdiri di sepanjang Jl Letjen Suprapto itu. Kuceritakan
juga moment-moment bersejarahku dengan mendiang kakakku di beberapa tempat di
jalan itu. Tapi tetap saja, abang belum tahu. Tetap kusimpan rapat tragedi memilukan
itu.
Setelah
beberapa puluh menit berjalan, akhirnya sampailah kita di tempat yang ku tuju.
Sebuah taman bernama Srigunting yang merupakan pusat dari kawasan kota lama.
Aku pun kembali berkisah. Kuperkenalkan padanya seluk beluk dari taman itu, pun
bangunan-bangunan kuno lain di sekelilingnya. Seperti Gereja Blenduk, gedung
Marba, dan gedung Jiwasraya. Aku benar-benar serasa bak pakar sejarah pada
waktu itu. ”Kau saudaranya tuan Herodotus ya?” celetuk suamiku menggoda.
Beberapa
jam di tempat itu membuat kita serasa berkunjung ke dalam alam nostalgia. Tak
hanya suamiku yang terkesima akan miniatur-miniatur di kota lama itu, tapi aku
pun sama. Aku terkagum-kagum, ternyata suasana kuno di kawasan Eropa versi
Indonesia ini masih lestari sampai sekarang. Saking terbawa suasana, kita
bahkan tak sadar kalau malam sudah berada di pertengahan. Ya, kita menghabiskan
waktu hingga larut malam. Tak lama berselang, kita pun kembali ke penginapan.
***
Semarang,
17 Oktober 1973
Pagi
hari. Di sebuah gedung angker di kawasan tugu muda. Ini adalah tempat terakhir
yang kukunjungi bersama suamiku sebelum kita kembali ke tempat asal. Aku sudah
mempersiapkan mental. Jauh-jauh hari sebelum kakiku menginjak tempat terbengas
ini. Maka, di tengah-tengah langkah kita mengitari lorong-lorong milik gedung
dengan 1000 pintu itu aku mengutarakan yang sebenarnya. Sebuah rahasia traumatik
yang tak pernah kuceritakan kepada siapapun.
Di
sepanjang lorong angker itu aku berkisah,
“Bang,
maaf kalau selama ini aku terlalu munafik padamu pun pada kedua putri kita.
Sebenarnya aku tak setangguh dan setegar itu. Aku tak sekuat itu bang. Sering
kali aku bersembunyi tuk keluarkan air mata kepedihanku. Akupun punya rahasia
kelam tentang hidupku yang tak pernah kuceritakan pada kalian. Maafkan aku
bang. Aku hanya ingin menutupi kerapuhanku. Aku ingin mengubur sejarah kelamku
itu dalam-dalam dan menghilangkannya dari bayangan masa depanku. Tapi kali ini
abang harus tahu. Abang harus tahu apa alasan di balik tangis-tangis tak jelasku.
Bang,
kau tahu? Dulu, sekitar 30 tahun lalu aku mengalami kejadian terburuk dalam
hidupku. Bukan hanya aku, tapi mendiang ibu dan kak Panji. Jiwa kami
benar-benar terguncang pada waktu itu. Kala itu, kita hidup di tengah-tengah
kebiadapan Jepang. Kami benar-benar bak tawanan perang yang teramat merindukan
kebebasan. Sampai suatu ketika, kami menerima kabar kalau ayah yang pada waktu itu
termasuk salah satu pejuang kemerdekaan, ditangkap oleh tentara Jepang dan
dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah. Abang tahu? Di tempat inilah para
durjana Jepang itu melancarkan kebengasannya. Tepatnya di sebuah lorong bawah
tanah yang terletak di bangunan paling bawah dari gedung ini. Lorong itu sangat
sempit dan pendek sehingga para tawanan di penjara itu harus jongkok dan tak
bisa berdiri. Kebayang tak, betapa penjara yang sering di sebut penjara duduk
itu sangat menyiksa ayah? Penderitaan ayah tak berhenti di situ bang. Lebih
tragis dari sekedar jongkok di lorong gelap nan pengap, hidup ayah berakhir
dengan sangat tragis. Ayah di penggal bang. Kepala ayah di penggal di tempat
itu setelah mengalami berbagai macam siksaan. Jasad beliau pun di buang di
sungai. Kami sama sekali tak bisa berbuat apapun. Kami pun serasa menjadi
keluarga paling tak berguna pada waktu itu. Ayah gugur dalam kondisi jasad
terpisah dari kepala.
Abang
tahu kan rasanya jadi Lastri pada saat itu? Itulah sebabnya kenapa selama ini
Lastri tak ceritakan kisah ini pada siapapun. Karna tragedi itu terlalu
membekas, pun tinggalkan trauma mendalam.”
Aku
menangis sejadi-jadinya. Mengisahkan kisah traumatik itu, di tempat kejadian
perkara, dan di depan suami yang sedari dulu mengenalku sebagai pribadi
tertegar, tak ubahnya menaburi luka di atas garam. Tapi bagaimanapun aku
berusaha tuk tegar.
“Bang,
kisahku tak berhenti di situ. Dengarkanlah lagi.
Dua
tahun setelah itu, tragedi memilukan menimpa keluargaku lagi. Dua tahun pasca
ayah tiada, salah satu anggota keluargaku pun menyusulnya. Kala itu, tepat di
tanggal yang sama dengan hari ini, 17 Oktober 1945, tepat 28 tahun silam,
terjadi tragedi pertempuran 5 hari di Semarang. Pertempuran itu merenggut
puluhan pemuda bangsa yang berjuang mempertahankan kemerdaan RI pada saat itu,
termasuk pemuda terkasihku. Ya, kakak semata wayangku gugur dalam pertempuran
itu. Tepat di hari ketiga pertempuran, kak Panji terkena tembakan tentara sadis
Jepang. Ia pun gugur sebagai pemuda bangsa pejuang kemerdekaan, tak jauh beda
dengan Dr Karyadi yang juga tertembak kala itu. Pertempuran 5 hari itu
benar-benar menciptakan goresan luka baru di jiwa Lastri dan ibu. Kami
kehilangan 2 sosok lelaki terpenting dalam hidup kami. Ohh.. andai kata
‘mengutuk’ tak dianggap tabu, aku ingin sekali mengutuk penjajah Jepang pada
waktu itu.
Tapi
sudahlah.. yang lalu biarkan berlalu. Karna yang sepantasnya kulakukan adalah
bersyukur terhadap apa-apa yang telah Tuhan berikan. Ya, aku sangat bersyukur karna
dari kejadian itu Tuhan mengajariku banyak hal. Seperti yang abang lihat
sekarang, aku masih jadi wanita terkuat dan tertangguh kan?”
***
|
Semarang.
–satu kata penuh kenangan.
|
“Dear
you, kota lumpia penuh kenangan.. sekelam apapun kau di masa lalu, tapi di mataku, kau
tetap jadi kota terindah dan tergagah. Kau luar biasa, Semarang. Semakin hari
semakin menyejahterakan, pun tak pernah abaikan kelestarian kota lamamu. Semarang,
kau terlalu spesial.”
***theEnd***
Semarang, 02/05/2016
-dfz-
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
///Hmmm.. gk jelas banget ya cerpennya-_- jadi ceritanya cerpen ini itu saya tulis buat lomba cerpen Forwakot Smg. Itu saya nulisnya dalam kurun waktu setengah malam looo.. (disitu kadang saya merasa nyesell wkwk) Ngebutt.. amburadul.. endingnya juga hambar.. jadi yaa begini.. haha :v Maklumlahh mahasiswa super sibuk..wkwk
Ahh nyesel bangetlahh.. coba saya bikinnya agak niat dikit begitu yaa.. kali aja bisa menang.. wkwk
Tapi yaa sudahlahh.. pada intinya saya kembali diingatkan bahwasanya "sesuatu yg dilakukan dengan tergesa-gesa, hasilnya tak akan maksimal. Betul? :)) Karna pada suatu perlombaan, yang berhak menyandang predikat sebagai pemenang yaitu dia --yang paling khusyu' doanya, dan paling besar usahanya." itu ajasihh.. SAYA MAH APA ATUHH WKWK :v //