123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 lasantha.wam

Writing is the most fun you can have by yourself. - Terry Pratchett

Wednesday, May 25, 2016

Sebingkis Kenangan Traumatik di Kota Lumpia // Short Story

“Ayaaaahhhhhhhhhhh aku datangggggg!!!!!!”

Perjalanan panjang telah membawaku pada peran seorang istri sekaligus ibu bagi kedua putriku. Ya, sang waktu telah mendewasakanku dan jadikanku ibu tertangguh bagi keduanya. Memang benar kata ibu, masa lalu tak pernah miliki hak tuk halangi seseorang menjadi berbeda di masa depannya.

“Masa lalu ya masa lalu. Biarkan itu berlalu! Sekarang kau hidup di masa yang tak lagi seperti dulu nak! Jadi jangan biarkan masa kelammu itu membungkammu dalam ketidakberdayaan! Kau harus berjuang! Seperti ayahmu dulu!” kata ibu yang selalu tertanam dalam memori.

***

Aku mulai lelah menunggu. Menanti detakan jarum jam di tanganku yang sedari tadi berputar teramat pelan. Ini benar-benar perjalanan terpanjang bagiku. Jalur rel kereta api yang  membentang dari ujung timur pantai utara hingga pertengahan pulau jawa telah kulewati, namun kereta api bisnis ini tak kunjung berhenti. Aku benar-benar lelah menanti. Bayang-bayang masa lalu mendorongku untuk ingin segera beranjak dan meluapkan rindu di kota lama penuh kenangan itu. Sementara suamiku yang sedari tadi menjagaku di sisi kirinya, hanya geleng-geleng menyaksikan ulahku yang tak henti-hentinya menggerutu. Ia tak banyak tanya, karna memang sebelumnya aku selalu marah bila ia tanya macam-macam tentang tujuanku di perjalanan kita kali ini. Yang ia lalukan hanyalah tenangkanku dalam rangkulan hangatnya, lalu meyakinkan bahwa ialah dia, sang suami yang seharusnya menjadi tempatku berbagi –suka maupun duka. Sementara yang ku katakan hanyalah janji. Seribu janji yang selalu kulontarkan bahwa suatu saat aku pasti akan berbagi. Suatu saat. Di suatu tempat, pada waktu yang tepat. Aku akan berbagi.

30 menit berlalu. Akhirnya kereta itu membawaku pada tujuan. Ya, ia berhenti persis pada saat dimana senja dan sayup-sayup patah mulai terdengar. Aku pun berlari menggandeng suami terkasihku untuk keluar gerbong. Berlari.. terus berlari hingga ku temui sebuah plang besar bertuliskan “Stasiun Kereta Api Tawang Semarang”. 

-TAWANG. Satu kata penuh kenangan.

Dug. Kakiku seketika berhenti melangkah. Lalu ku pandangi tulisan itu, meresapinya dalam-dalam sembari menekan kedua sudut mata agar butiran air yang mulai mencair tak sampai mengalir. Aku khawatir bila suamiku tahu. Aku  benar-benar khawatir bila suamiku tahu –sesuatu di balik air mataku.  

---

***

20:30 WIB.

Kita duduk berdua. Tepat di tepi polder Tawang yang tak jauh dari penginapan. Aku bersender di bahunya. Menikmati indahnya kerlap-kerlip kota, pun semilir udara malam  yang dengan ramahnya menyapaku melalui sentuhan lembut penuh kehangatan.

[Hening]

Aku mulai bercerita. Kataku pada abang, 

“Dulu, 35 tahun lalu ayah dan ibu juga seromantis ini. Duduk berdua menikmati indahnya suasana malam di kota ini. Persis di tempat ini. Aku dan kak Panji pun tak mau kalah, kita sama-sama unjuk kemesraan di depan mereka. Sampai-sampai tak jarang orang di sekeliling kota mengira bahwa kita adalah sepasang kekasih, sama sekali tak nampak bila sebenarnya adik-kakak. Kita teramat dekat bang.. Kerap sekali kita menghabiskan waktu berdua di kota tua ini. Berlarian kesana-kemari menyusuri tiap-tiap bangunan kuno itu, pun bangunan tersadis itu. Ak.. …”

“Bangunan kuno? Bangunan tersadis? Maksudmu?” potong suamiku.

Aku memejamkan mata. Mencoba tenangkan rindu yang mulai meronta. Mencoba menepis bayang-bayang kelam tuk jawab tanyanya, “Bangunan-bangunan kuno itu.. …” Ahh aku tak berhasil. Air mataku berderai. Kali ini aku benar-benar tak bisa sembunyikan kecengenganku di depannya.

Tanda tanya di benaknya pun semakin menjadi-jadi. Ingin ia luapkan, tapi ia mencoba meredam. Ya, ia memang begitu. Selalu punya cara tuk tenangkan hati istri. Ia merangkulku dan memegang erat jemariku. Sementara yang ia katakan hanyalah, “Menangislah dik, kau boleh menangis sejadi-jadimu. Menangislah hingga bebanmu berlalu. Menangislah bila itu dapat tenangkan hatimu. Menangislah.. tapi jangan kau lupakan ini, ini bahuku. Bahu suamimu, –tempatmu menyandarkan semua bebanmu.” 

15 menit berlalu.

Waktu yang terbilang singkat itu ternyata mampu meredakan sesak di dada. Kala itu aku putuskan untuk beranjak dari tempat itu. Aku menggiring suamiku untuk berpetualang menjelajahi tempat-tempat indah lainnya. Aku terbayang suatu tempat. Lalu ku ajaklah suamiku ke tempat itu. Kita menyusuri Jl. Cendrawasih yang lumayan panjang. Sembari berjalan, aku mulai bercerita lagi, 

“Bang, abang tahu sejarah kota Semarang? Tahu  sejarah kota lama?”

“Kota lama sih tahu dik, peninggalan Belanda kan? tapi tak tahu kalo sejarah detailnya.. sebenarnya abang mau tahu sejarah lengkapnya, tapikan tiap kali abang singgung ini dik Lastri selalu pasang muka tak enak. Sebenarnya ada apa? ”

“Dulu sekali, setelah peristiwa pemberontakan Trunojoyo berakhir, kota Semarang resmi jadi hak milik Belanda. Kala itu kerajaan Mataram menyerahkan daerah ini pada VOC sebagai imbalan karna VOC sudah membantu Mataram di pemberontakan Trunojoyo. Mulai dari situlah Belanda mengadakan pembangunan di kawahan kota lama ini. Ada gedung pemerintahan, perkantoran, tempat peribadatan, rumah-rumah warga, dan masih banyak lagi. Coba abang tengok kanan-kiri, serasa berada di Eropa tak? Bangunan-bangunan di sini benar-benar mirip miniatur Belanda bang.. unik dan indah sekali..!”

“Iya dik, abang baru pertama kali lihat kawasan peninggalan Belanda macam ini. Tapi abang heran, kenapa dik Lastri selalu sedih bahkan menangis kalau abang singgung kota lama ini?”

Pertanyaan abang kali ini membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku serasa di sekak oleh pertanyaan yang sekian puluh tahun selalu kuhindari. Memang ini bukan kali pertama abang tanya tentang hal ini. Tapi tiap kali ia tanya, akan selalu bisa berkelip. Dan kali ini, ahh aku benar-benar ingin meluapkan segalanya. Kisah di masa lalu itu. Kisah yang tak pernah kuceritakan pada orang-orang di masa depanku, termasuk suamiku sendiri.

“Hmm.. kan Lastri pernah menetap di sini bang. Tak lama sih, tapi kota ini meninggalkan banyak kenangan buat Lastri.” kataku berusaha tepiskan kegundahan. 

Tak terasa obrolan kita mengenang masa lalu Semarang itu telah membawa langkah kita pada jalan panjang yang menyimpan banyak kenanganku di masa lalu. Rinduku semakin menjalar. Di Jl. Letjen Suprapto itu ku percepat langkahku. Abang pun begitu. Jalan kaki di malam hari ternyata melelahkan juga. Tapi kita tetap menikmati moment itu. Aku pun melanjutkan ceritaku. Aku memperkenalkan gedung-gedung yang berdiri di sepanjang Jl Letjen Suprapto itu. Kuceritakan juga moment-moment bersejarahku dengan mendiang kakakku di beberapa tempat di jalan itu. Tapi tetap saja, abang belum tahu. Tetap kusimpan rapat tragedi memilukan itu.

Setelah beberapa puluh menit berjalan, akhirnya sampailah kita di tempat yang ku tuju. Sebuah taman bernama Srigunting yang merupakan pusat dari kawasan kota lama. Aku pun kembali berkisah. Kuperkenalkan padanya seluk beluk dari taman itu, pun bangunan-bangunan kuno lain di sekelilingnya. Seperti Gereja Blenduk, gedung Marba, dan gedung Jiwasraya. Aku benar-benar serasa bak pakar sejarah pada waktu itu. ”Kau saudaranya tuan Herodotus ya?” celetuk suamiku menggoda.

Beberapa jam di tempat itu membuat kita serasa berkunjung ke dalam alam nostalgia. Tak hanya suamiku yang terkesima akan miniatur-miniatur di kota lama itu, tapi aku pun sama. Aku terkagum-kagum, ternyata suasana kuno di kawasan Eropa versi Indonesia ini masih lestari sampai sekarang. Saking terbawa suasana, kita bahkan tak sadar kalau malam sudah berada di pertengahan. Ya, kita menghabiskan waktu hingga larut malam. Tak lama berselang, kita pun kembali ke penginapan.

***

Semarang, 17 Oktober 1973

Pagi hari. Di sebuah gedung angker di kawasan tugu muda. Ini adalah tempat terakhir yang kukunjungi bersama suamiku sebelum kita kembali ke tempat asal. Aku sudah mempersiapkan mental. Jauh-jauh hari sebelum kakiku menginjak tempat terbengas ini. Maka, di tengah-tengah langkah kita mengitari lorong-lorong milik gedung dengan 1000 pintu itu aku mengutarakan yang sebenarnya. Sebuah rahasia traumatik yang tak pernah kuceritakan kepada siapapun.

Di sepanjang lorong angker itu aku berkisah,

“Bang, maaf kalau selama ini aku terlalu munafik padamu pun pada kedua putri kita. Sebenarnya aku tak setangguh dan setegar itu. Aku tak sekuat itu bang. Sering kali aku bersembunyi tuk keluarkan air mata kepedihanku. Akupun punya rahasia kelam tentang hidupku yang tak pernah kuceritakan pada kalian. Maafkan aku bang. Aku hanya ingin menutupi kerapuhanku. Aku ingin mengubur sejarah kelamku itu dalam-dalam dan menghilangkannya dari bayangan masa depanku. Tapi kali ini abang harus tahu. Abang harus tahu apa alasan di balik tangis-tangis  tak jelasku.

Bang, kau tahu? Dulu, sekitar 30 tahun lalu aku mengalami kejadian terburuk dalam hidupku. Bukan hanya aku, tapi mendiang ibu dan kak Panji. Jiwa kami benar-benar terguncang pada waktu itu. Kala itu, kita hidup di tengah-tengah kebiadapan Jepang. Kami benar-benar bak tawanan perang yang teramat merindukan kebebasan. Sampai suatu ketika, kami menerima kabar kalau ayah yang pada waktu itu termasuk salah satu pejuang kemerdekaan, ditangkap oleh tentara Jepang dan dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah. Abang tahu? Di tempat inilah para durjana Jepang itu melancarkan kebengasannya. Tepatnya di sebuah lorong bawah tanah yang terletak di bangunan paling bawah dari gedung ini. Lorong itu sangat sempit dan pendek sehingga para tawanan di penjara itu harus jongkok dan tak bisa berdiri. Kebayang tak, betapa penjara yang sering di sebut penjara duduk itu sangat menyiksa ayah? Penderitaan ayah tak berhenti di situ bang. Lebih tragis dari sekedar jongkok di lorong gelap nan pengap, hidup ayah berakhir dengan sangat tragis. Ayah di penggal bang. Kepala ayah di penggal di tempat itu setelah mengalami berbagai macam siksaan. Jasad beliau pun di buang di sungai. Kami sama sekali tak bisa berbuat apapun. Kami pun serasa menjadi keluarga paling tak berguna pada waktu itu. Ayah gugur dalam kondisi jasad terpisah dari kepala.

Abang tahu kan rasanya jadi Lastri pada saat itu? Itulah sebabnya kenapa selama ini Lastri tak ceritakan kisah ini pada siapapun. Karna tragedi itu terlalu membekas, pun tinggalkan trauma mendalam.”

Aku menangis sejadi-jadinya. Mengisahkan kisah traumatik itu, di tempat kejadian perkara, dan di depan suami yang sedari dulu mengenalku sebagai pribadi tertegar, tak ubahnya menaburi luka di atas garam. Tapi bagaimanapun aku berusaha tuk tegar.

“Bang, kisahku tak berhenti di situ. Dengarkanlah lagi. 

Dua tahun setelah itu, tragedi memilukan menimpa keluargaku lagi. Dua tahun pasca ayah tiada, salah satu anggota keluargaku pun menyusulnya. Kala itu, tepat di tanggal yang sama dengan hari ini, 17 Oktober 1945, tepat 28 tahun silam, terjadi tragedi pertempuran 5 hari di Semarang. Pertempuran itu merenggut puluhan pemuda bangsa yang berjuang mempertahankan kemerdaan RI pada saat itu, termasuk pemuda terkasihku. Ya, kakak semata wayangku gugur dalam pertempuran itu. Tepat di hari ketiga pertempuran, kak Panji terkena tembakan tentara sadis Jepang. Ia pun gugur sebagai pemuda bangsa pejuang kemerdekaan, tak jauh beda dengan Dr Karyadi yang juga tertembak kala itu. Pertempuran 5 hari itu benar-benar menciptakan goresan luka baru di jiwa Lastri dan ibu. Kami kehilangan 2 sosok lelaki terpenting dalam hidup kami. Ohh.. andai kata ‘mengutuk’ tak dianggap tabu, aku ingin sekali mengutuk penjajah Jepang pada waktu itu.

Tapi sudahlah.. yang lalu biarkan berlalu. Karna yang sepantasnya kulakukan adalah bersyukur terhadap apa-apa yang telah Tuhan berikan. Ya, aku sangat bersyukur karna dari kejadian itu Tuhan mengajariku banyak hal. Seperti yang abang lihat sekarang, aku masih jadi wanita terkuat dan tertangguh kan?”

***

Semarang. –satu kata penuh kenangan.

“Dear you, kota lumpia penuh kenangan.. sekelam apapun kau di masa lalu, tapi di mataku, kau tetap jadi kota terindah dan tergagah. Kau luar biasa, Semarang. Semakin hari semakin menyejahterakan, pun tak pernah abaikan kelestarian kota lamamu. Semarang, kau terlalu spesial.”

 

***theEnd***


 

Semarang, 02/05/2016

-dfz-

 

 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------

///Hmmm.. gk jelas banget ya cerpennya-_- jadi ceritanya cerpen ini itu saya tulis buat lomba cerpen Forwakot Smg. Itu saya nulisnya dalam kurun waktu setengah malam looo.. (disitu kadang saya merasa nyesell wkwk) Ngebutt.. amburadul.. endingnya juga hambar.. jadi yaa begini.. haha :v Maklumlahh mahasiswa super sibuk..wkwk

Ahh nyesel bangetlahh.. coba saya bikinnya agak niat dikit begitu yaa.. kali aja bisa menang.. wkwk

Tapi yaa sudahlahh.. pada intinya saya kembali diingatkan bahwasanya "sesuatu yg dilakukan dengan tergesa-gesa, hasilnya tak akan maksimal. Betul? :)) Karna pada suatu perlombaan, yang berhak menyandang predikat sebagai pemenang yaitu dia --yang paling khusyu' doanya, dan paling besar usahanya." itu ajasihh.. SAYA MAH APA ATUHH WKWK :v //

Categories

Follow me on Facebook

Follow me on Tumblr

Writing is the most fun you can have by yourself. - Terry Pratchett

Powered by Blogger.
Adsense Indonesia

About Author

Hamba Tuhan yang sedang belajar menulis.

Video of Day | Click on the link below to download the video!

Popular Posts