123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 lasantha.wam

Writing is the most fun you can have by yourself. - Terry Pratchett

Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Sunday, October 29, 2017

Tahu Rasanya Mati?



Kamu terlihat sangat lelah. Mukamu kucel. Jilbabmu sudah jauh dari kata rapi. Sudah tidak seperti tadi pagi yang serba wangi. Tapi kamu tak peduli. Kamu terus berjalan melewati mereka. Lalu sempoyongan menaiki anak tangga. Tangan kananmu menenteng sebuah plastik kresek berisi makanan. Tangan kirimu juga membawa es kopi yang kamu beli di warung depan. Ditambah lagi beban dipunggungmu yang sedari pagi menggendong tas berisikan beberapa buku dan sebuah laptop. Tapi kamu bodo amat. Kamu tetap semangat menaiki anak tangga menuju lantai paling atas. Meski tersandung-sandung, kamu tak peduli. 

Sekarang kamu sudah sampai di tangga terakhir. Tersisa 3 anak tangga lagi untuk bisa melihat pintu kamar kosan. Dan akhirnya kamu sampai. Sekarang kamu berdiri beberapa meter dari pintu kamar kosmu. Hampir saja mau melangkahkan kaki, tapi tak jadi. 

Sesuatu membuatmu terkejut. Ada sosok misterius di samping pintu kamarmu. Wajahnya samar2. Silau. Entah terkena sinar lampu atau bagaimana. Yang jelas dia seorang lelaki berkopyah. Umurnya mungkin sudah 50 an. Tapi dia tidak melihatmu. Karena penasaran dan deg-degan, segera kau berbalik badan lalu kau sembunyikan badanmu yang kurus itu di balik dinding tangga. Kamu bersembunyi di situ sambil memantaunya dari jauh. Kamu gemeteran, tapi penasaran. Lelaki itu tersenyum, namun sesekali menghela napas panjang tapi tidak terdengar napasnya. Kau memantaunya terus, tanpa berkedip. Setelah beberapa menit berdiri, ia mulai menjauh. Ia berjalan menjauhi kamarmu dengan wajah menunduk. Jalannya cepat sekali. Kamu pun memutuskan untuk terus mengikutinya karena penasaran. 

Kamu berlari mengejarnya. Berlari hingga napasmu tersengal-sengal. Hingga akhirnya kamu tiba di padang pasir yang tandus dan sunyi. Tiada siapapun kecuali kau dan lelaki tadi yang kini berjalan beberapa meter di depanmu. Kamu mengamati sekeliling. Memang tidak ada siapa-siapa. Kamu terus mengikutinya. Tapi lama-lama jalannya menjadi semakin pelan. Sepertinya ia kelelahan. Tak beda jauh dengan ragamu yang akhirnya tertidur pulas di kasurmu yang penuh dengan kertas fotocopyan. 

Ia berhenti sebentar. Lalu duduk dan meluruskan kaki. Tak lama kemudian kamu melihat seorang anak kecil mendekatinya. Ia menggenggam sesuai. Lalu diberikan kepada lelaki paruh baya itu. “Assalamualaikum. Pak, saya punya 2 buah apel untuk bapak. Semoga dapat memberikan energi pada tubuh bapak.” Dengarmu samar-samar. Lelaki itu menerimanya. Lalu memegang tangan anak kecil itu dan berkata, “Terimakasih nak. Kalau boleh tahu, dari mana kamu mendapatkannya nak? Pandangannya beralih ke arah apel yang digenggamnya.
“Apel pertama dari istri bapak. Apel kedua dari putri kedua bapak. Kedua apel ini adalah wujud dari surat fathihah yang telah mereka bacakan kepada bapak. Barusaja mereka membacanya.” Lelaki itu tertegun. Lalu meneteskan air mata. Sepertinya ia terharu.
Setelah bicara ini itu, anak kecil itu pamit. Lelaki paruh baya itu pun lantas memakan kedua buah apel dari istri dan putri tercintanya. Sementara kamu sedari tadi hanya diam membisu. Namun tatapanmu masih tajam, tak henti-hentinya mengamati perilaku lelaki misterius itu. “Ahh kenapa wajahnya masih saja samar-samar? Tapi dari postur tubuhnya.. …” Kamu berhenti bergumam. Air matamu menetes. Mungkin kamu lelah. Atau teringat sesuatu?

Ya. Kamu teringat sesuatu. Kamu ingat sekarang. “Ini malam Jumat?” Kamu mulai mengingatnya. Kamu menangis sejadi-jadinya. Lalu berlari entah kemana. Ruhmu berlari kencang. Napasmu tersengal-sengal. Lalu jatuh. Ambruk. Tersandung kayu yang tergeletak di halaman depan rumah. Ya. Sekarang kamu berada di rumah. Rumah keluargamu yang sudah kau tinggal lama. Ternyata suasana rumahmu masih seperti biasanya. Tidak berubah. Masih sepi dan sunyi. Masih terdengar suara jangkrik yang bersaut-sautan. Malam di rumahmu memang selalu begitu. Tak jauh berbeda dengan suasana di padang pasir yang kau kunjungi beberapa menit lalu. 

“Buk? Ibuk? Aku pulang!” teriakmu sambil berlari ke dalam rumah. “Ibuk? Adek? Kalian di mana?” teriakmu lagi. Namun tidak ada balasan. Mereka tidak menjawab. Tapi kamu mendengar jelas suara itu. Suara mereka mengaji, entah di mana. Kamu berjalan cepat ke kamar depan. Tapi kau tak menemukannya. Lalu beralih ke kamar belakang. Tapi tak juga ada. Lalu kau beringsut ke ruangan di sebelahnya. Tepat. Ternyata mereka berdua sedang mengaji di ruang persholatan. Mereka tampak khusyu’ membaca al-Qur'an. “Hmmmmm.” Kamu menghela napas panjang. Hatimu lega. “Ibuk. Ibuk sudah baca Yasin kan? Ima kelupaan,” katamu sambil bersandar di dinding persholatan. Lalu kamu mendekat. Menyentuh pundak ibumu. Tapi ada yang aneh. Beliau tidak meresponmu. “Dek?” Kamu menyapa lagi sambil menepuk bahu adikmu. Tapi tetap saja, mereka tidak meresponmu. “Ibuk??????” Kamu jadi panik. “Ahh apa yang terjadi dengan diriku? Mereka tidak melihatku? Mereka tidak mendengarku??” gerutumu dalam hati. Air matamu menetes. Kamu menangis lagi. Lalu melangkah meninggalkan mereka. Kamu berjalan gontai menuju ruang tamu. Lalu duduk di kursinya. Kamu tertunduk. Diam. Lalu menghela napas panjang. “Huuuhhhhhhhhhh.” Dan seketika kamu berhenti menangis.
“Maafkan aku pak, dunia memperdayaiku,” katamu lirih sambil menatap tajam ke arah jendela.

Pikiranmu mengembara lagi. Menstimulasi kakimu untuk melangkah lari. Ya. Lagi-lagi kamu berlari kencang. Sang waktu seolah menyeretmu. Kamu merasa kesal, namun tak punya daya. Sepanjang jalan pikiranmu terbelah. Kamu memikirkan Ibumu Di rumah. Pun tugas ini-itu mu yang belum juga terselesaikan. Harusnya kamu tetap berada di rumah. Tapi kamu juga harus meneguk kopi agar kantukmu hilang dan bisa nugas lagi. Tapi hal-hal itu malah tak kau hirauan. Kau hanya memikirkannya namun tindakanmu berkebalikan. Kau makin menjauhi rumah. Pun tak mampu sedikitpun menggerakkan tangan kananmu untuk mengambil kopi. Ragamu terlalu lelap. Sementara ruhmu hampir frustasi. 

Kamu terus saja berlari. Di hantam angin dini hari, pun diserbu cemas yang tiada henti. Langkahmu benar-benar tidak bisa dihentikan. Kamu seperti disetir oleh intuisi. Disetir ke sebuah tempat yang sebenarnya ingin sekali kau kunjungi, tapi alam sadarmu tidak menyadari. Ya. Intuisi itu mengarahkan langkahmu. Dan sekarang kau sudah sampai.

Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kau sampai di suatu tempat yang kau kunjungi diawal perjalananmu malam ini. Padang pasir. Ya. Kau sampai di padang pasir lagi. Tapi sekarang kau sendiri. Benar-benar sendiri. Rasa takut dan khawatir pun perlanan mencengkeram ruhmu. Bukan takut kegelapan, bukan. Bukan pula takut akan kesendirian. Tapi kamu takut, kamu tidak bisa lagi memantau perjalanan-nya; sosok lelaki misterius yang kini sudah kamu ketahui identitasnya. Kamu takut ia kelelahan. Kamu tidak tega bila ia sendirian. Lalu kamu memutuskan untuk tetap di situ. Kamu akan tetap tinggal di padang pasir itu, hingga kau bisa menemukannya dan mencium kedua tangannya. Tapi nampaknya lelaki paruh baya itu sudah pergi. Entah. Mungkin perjalanannya masih panjang. Mungkin juga sudah sampai tujuan. 

Dadamu mulai sesak. Lalu kamu mulai terisak. “Tunggu aku! Aku ingin menemanimu!” katamu lirih.
Lelah menangis, kamu akhirnya ambruk. Memeluk pasir. Hanyut ke dalam mimpi-mimpi. Seperti mimpimu malam ini. Ya. Kau sejatinya sedang bermimpi. Tak sadarkah kau?
“Ima Im.. Bangun nak! Bapak di sini!”
Tapi suara itu bukan mimpi. Sama sekali bukan mimpi. Kamu tahu persis itu benar-benar suara lelaki paruh baya yang sedang kau cari-cari. Lalu kau berusaha bangun. Kau kumpulkan ruhmu. Lalu menyapanya.
“Bapak? Bapak di sini?” Ia hanya menimpalinya dengan senyum. Lalu buru-buru pergi lagi. Ia melangkah cepat entah kemana. Seakan tidak mau kalau kamu ikut bersamanya. “Bapak!” teriakmu lagi. Kau coba mengejar, tapi kakimu teramat kaku. Kakimu tidak bisa digerakkan sama sekali. “Pak, tunggu!” Tubuhmu semakin kaku. Seperti diikat kuat, tidak bisa ke mana-mana. Lalu sekuat tenaga kau paksa kakimu melangkah. Kau memaksanya, dengan sisa kekuatan yang kau punya. “Bapakk tungguuuuu!!!!” Teriakanmu makin keras. Hingga akhirnya kau berhasil mendobrak pintu alam sadarmu. 


—BRAKKKKKK—– (Kamu terjun dari ranjang)

Matamu melotot. Lalu lompat ke atas ranjang. 
“Astagfirullah…. INI MALEM JUMAT???? KU BELOM BACA YASIN!! BELOM BACA APA-APA!!!!” 
Demikianlah keluhmu, mengakhiri perjalanan mimpi di malam ini.

***

Bapak memang begitu. Selalu saja menemuiku tiap kali aku nakal. Tapi sekarang tidak lagi. Entah. Sudah berbulan-bulan ia tidak menemuiku lagi. Padahal aku sedang nakal-nakalnya. Apa dia marah? 

Pak, tahu tidak? Mimpiku hampa tanpamu. Kapan alam bawah sadarku bisa menemani perjalananmu lagi? Aku ingin tahu rasanya mati. Biar aku tidak nakal lagi. (:


-theEnd-



Tembalangsweet, 18/10/17 | ©DFZ


  

#kelasmenulismediaberkarya
#kmmdk
#kmmdk03
#mediaberkarya
#dikerjakandalamtempoyangsesingkatsinfkatnya
#harapmaklum:v

Friday, May 19, 2017

Bukan Cerita Pendek


“Bu, aku ingin bercerita,”


Gadis cantik yang mulai beranjak remaja itu akhirnya mau bersuara.

Seperti biasa, setiap sore, di taman belakang rumah, aku selalu menyempatkan diri untuk beralih peran menjadi teman curhat bagi putri semata wayangku.

Tapi tidak seperti biasanya, kali ini ia harus dipancing dulu agar mau bicara terus terang. Ia seperti ingin sekali bercerita, tapi malu-malu untuk mengungkapkan. Biasa, masalah krusial ABG. Apa lagi kalau bukan …

“E hee.. emm….  tidak jadi ding bu, hehe”

“Hmm.. Kamu tahu nak? Dulu waktu ibu muda.. …”

“Waktu ibu muda? Gimana gimana bu?”

(Dia mulai terpancing). Aku pun melanjutkan ceritaku.

“Dulu waktu ibu muda, ibu pernah tertarik sama seseorang. Orangnya baik. Pinter. Sholeh. Paling aktif gitu di sekolah.Tapi sayang ibu beda sekolah sama dia. Hehe.. hmm”

“Lalu bu? Dia juga menyukai ibu?”

“Sayangnya nggak nak,”

“Yahhh…”

“Menurut ibu, dia terlalu baik. Ibu merasa nggak pantas. Akhirnya ibu cuma bisa mengagumi dia diam-diam. Bulan demi bulan, sampai berganti tahun. Kita nggak pernah ngobrol. Bertemu saja jarang. Tapi entah kenapa ibu semakin jatuh hati padanya,”

“Kok bisa bu?”

“Ibu jatuh hati dengan kepribadiannya. Dengan kecerdasannya, juga aktivitas-aktivitas yang ia lakukan. Sayangnya, ibu cuma bisa mengaguminya diam-diam,”

“Lalu bu? Ibu tidak mengusahakan sesuatu?”

“Berusaha dong!”

“Wah.. gimana gimana bu?”

“Ibu berusaha untuk menjadi lebih baik setiap waktu. Ibu berusaha untuk selalu mendoakan kebaikan untuk dia. Agar dia selalu sehat, juga dilancarkan urusannya. Ibu pun berusaha, minta sama Tuhan agar suatu saat, ibu disandingkan dengan seseorang yang perangainya seperti dia,”

“Seperti bu?”

“Iya, karena waktu itu ibu menyadari bahwa ibu bukan siapa-siapa. Ibu berpikir, kalaupun ibu berusaha keras jadi lebih baik, ibu nggak akan bisa menyamainya. Tapi itu menjadi motivasi tersendiri buat ibu untuk terus berusaha menjadi lebih baik,”

“Lalu, sampai kapan ibu memendam rasa?”

“Sampai kapan ya.. sampai ibu bosan.. hahaa”

“Hm ibu.. ibu punya penggantinya?”

“Melupakan dia itu sesuatu yang sangat sulit untuk ibu lakukan. Apa lagi mencari penggantinya. Hmm.. Dulu banyak sekali teman-teman ibu yang ibu tolak, karena ibu cuma jatuh hati sama dia,”

“Wah wah sampai segitunya bu? Uhh..”

Putriku mulai manyun. Rupanya rasa penasarannya di awal perbincangan sudah beralih jadi bara kecemburuan. Sambil menahan tawa, aku pun melanjutkan cerita.

“Tapi lama-lama ibu jadi jenuh sendiri. Ibu hampir putus asa. Dan akhirnya ibu mulai berusaha melupakannya,”

“Hmm..” Responnya cuma ‘hmm’ saja. Tapi lirikannya sudah seperti orang yang kepo tingkat dewa. Putriku ini memang menggemaskan.

“Sampai suatu ketika, hal yang tak disangka-sangka pun terjadi,”

“Kenapa bu? dia mengajak ibu bertemu?”

“Enggak. Dia cuma menyapa ibu. Untuk pertama kalinya, setelah ibu mulai berusaha melupakannya. Kita mulai sering mengobrolkan suatu hal. Tentang sebuah program kerja yang harus kita kerjakan bersama. Tapi ibu berusaha untuk biasa saja. Toh memang tidak ada apa-apa,”

“Hmm.. Tapi ibu jadi makin suka?”

“Iya, ibu makin suka dengan tutur katanya. Dia sungguh bijaksana. Tapi ibu tetap berusaha biasa saja,”

“Tapi dia tidak mengganggu ibu kan?”

“Alhamdulillahnya, iya nak. Dia sering mengganggu ibu,”

“Ibu…….” Putriku semakin kesal. Ia memang pecemburu.

“Iya, dia selalu mengganggu pikiran ibu,”

“Dia suka sama ibu?”

“Enggak. Dia cuma bilang, hmm..

Suatu hari dia datang ke tempat kerja ibu. Lalu mengajak ibu ke suatu tempat. Lalu dia bilang,”

“Bilang apa bu?”

“Dia bilang,

Dia sudah lama jatuh hati pada ibu. Tapi dia memilih diam, sembari menunggu segalanya siap. Dia juga khawatir, bila pada akhirnya ibu akan menolaknya. Karena baginya, ibu….”

“Ibu…… Lalu, kenapa ibu akhirnya sama ayah? Kenapa tidak sama lelaki itu saja?”  Uh, putriku makin menggemaskan.

“Tunggu dulu sayang.. ibu belum selesai bercerita..”

“Hmm.. lalu?”

“Lalu dia bilang,

‘will you marry me?’”

“Oh. Lalu ibu jawab apa? Ibu tidak bilang YES kan?”

“Nggak kok sayang.. ibu cuma bilang,”

“Bilang apa bu?”

“Ibu cuma bilang,

‘Izinkan saya beristikhoroh terlebih dahulu,”

“Uuhhh.. lalu jawabannya?”

“Jawaban yang mana?”

“Hasil istikhorohnya bu?”

“Hasilnya?”

“Iya bu..  huhuu”

“Hasilnya,

Hasilnya,

Hmmmm

Hasilnya,

sekarang kami hidup bahagia.

Dan kamu lah sumber bahagianya,”

“Maksud ibu.. .?”

“Iya nak. Itu cerita ibu dan ayah waktu muda dulu.

Sekarang, ayo ceritakan kisahmu!”

“Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu,” Dia mendekat. Lalu memelukku erat,

sambil berbisik, “Ibu, aku terharu,”

“Jadi, siapa sosok yang berhasil mencuri hati putri ibu yang sukanya cemburuan ini?”

Akhirnya, ia pun bercerita. Panjang sekali, lebih panjang dari ceritaku tadi. Kini aku jadi lega, putriku menjadi sangat terbuka kepadaku. Tidak ada yang ia sembunyikan, termasuk siapa yang diam-diam mencuri hatinya. Iya, putriku kini telah berkenalan dengan cinta. Cinta-cintaan ala anak remaja. Tak apa. Itu wajar-wajar saja. Pun sudah menjadi tugas perkembangannya.

“Ibu harap, kamu bisa mengambil poin-poin positif dari apa yang telah ibu ceritakan ya nak!”

“Siap bu!”

“Hmm padahal.. …”

“Padahal apa bu?

Padahal ibu dan ayah ingin menjodohkanmu dengan …. Tapi tak apa, ini bukan zaman Siti Nur Baya,”

Kataku sebelum berlari ke dalam rumah. Kami kejar-kejaran. Lalu berpelukan.

 “Uhhh ibuuuuuuuuuu,”

 

Bukan Cerita Pendek | Smg, 9/5/17 | ©DFZ

Saturday, January 14, 2017

Hujan, Terimakasih // shortstory


"Aku tidak takut!" 
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqWhHGRsB-bGR7WTWnbNWdmCoQVXVIupQkx-j7thDphJTwVNVVBBMcsexrpxQ8QOGhbqz4ZQRBC4o5igCGxNGHo1lprF-FnQXFva_2Y-tN5SG3e-5S01jxn2ghLI8OBQVgGiuKKpnHWvg/s1600/download%252520%2525281%252529.jpg
Teriakan hati milik mahasiswi psikologi itu terdengar begitu lantang. Ia memang ingin bertutur tegas kepada penduduk bumi yang kala itu sedang bersembunyi di bawah atap yang nyaman, pun di atas kasur yang empuk. Menegaskan bahwa guyuran hujan, teriakan petir, pun sambaran kilat, bukanlah misbehavior of earth yang layak untuk ditakuti. "Mereka turun ke bumi untuk menantang. Dan hanya jiwa-jiwa pemberanilah yang akan merasa tertantang," tegasnya pelan----di dalam benda kecil bernama hati.

"Aku tidak takut! Aku akan tetap pergi!" Gaungan hati milik perempuan ber-ransel hitam itu kembali menggelegar. Makin keras. Makin tegas. Ia memang keras kepala. Lagi-lagi ia ingin bertutur tegas kepada makhluk-makhluk yang pada saat itu sedang berselimut, bahwa derasnya hujan, kerasnya petir, pun bengasnya kilat, bukanlah alasan untuk tetap berteduh di balik selimutnya yang tebal dan empuk. Ya, sore kemarin, perempuan rantau itu kembali ber-ulah. Perempuan rantau itu, ... ah sebut saja dia, 'aku'.

Sore kemarin. Saat embusan angin senja memercikkan air langit yang hendak membasahi tanah Tembalang. Saat jiwa-jiwa sang perantau menelingkup di balik selimut tebal nan empuk, menyambut virus kantuk yang tiba-tiba menusuk sebab terang tak kunjung datang. Saat-saat itulah aku, si perempuan berjaket merah, ber-ransel hitam, penenteng tas cangkingan berisi beberapa buku (cerita roman :v), berdiri di depan pintu yang bertuliskan "kamar 304 Graha Larasati) dan berucap lantang, "Bu, kini kupenuhi janjiku. Aku pulang! Tak peduli, meski bumi sedang tak karuan."

Sekali lagi kulirik seisi kamar----memastikan tidak ada yang tertinggal, lalu mengunci pintu, dan turun menuju lantai dasar. Dug. Langkahku terhenti di suatu ruangan luas berisikan 17 kendaraan roda 2 berjenis matic. Tak selang lama, salah satu kendaraan bernama oiraV, berwarna merah merona, dan berbody ramping, melambaikan tangan ke arahku. Rupanya ia telah siap bertamasya ria dengan pemiliknya. Akupun segera mendekat. Membunyikan mesinnya, memberinya kesempatan untuk melakukan pemanasan semenit saja, lalu bergegas tancap gas. Ya, tepat pukul 05.30 pm aku meluncur ke jalanan. Berbaur bersama hujan. Asik kan? 

Musim penghujan memang menyebalkan bagi mereka yang hobinya motoran. Tapi tidak dengan perempuan pembuat onar ini (penulis mengajungkan tangan :v). Kau tahu? Dulu aku sempat dikeroyok habis-habisan oleh angin kencang, hujan lebat, pun gelap malam. Terlunta-lunta dijalanan karena satu-satunya jembatan pengantarku ke tujuan (rumah) tidak bisa dilewati. Para rider kebanjiran. Pun kebingungan mencari jalan agar sampai ke tujuan. Dan alhasil, sampai rumah aku jendindilan---(semacam penyakit tak butuh obat yang diakibatkan oleh kedinginan akut dan bisa sembuh kalau ada selimut :v). Dan kau tahu, dimana letak ke-onar-anku? Aku membuat semua orang kesakitan. Teridap penyakit khawatir yang tak ketulungan. Ahh barangkali mereka yang terlalu lebay memaknai kehilangan, atau aku yang kelewatan? Toh aku tak lantas hilang kan? Toh aku masih selamat sampai tujuan. Tak terbawa badai yang menghantui saat masih di jalanan. Hmmm
Dan kamu tahu? Sore kemarin, aku mengulanginya. Kembali pulang dengan hujan dan gelap malam. Berharap di tengah perjalanan langit akan terang benderang, sehingga banjir kala itu tak akan terulang. 

Haha. Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?

Butiran air langit yang menemaniku di awal perjalanan memang tidak terlalu deras. Hanya gerimis, yang sesekali lebat. Aku masih bisa menyetir santai sambil satu/dua kali melirik ke kanan dan kiri. Menikmati suasana Tembalang di kala senja, untuk terakhir kalinya---sebelum angka tahun bertambah usia. 

Di sepanjang jalan, sembari menonton apa-apa yang ada di jalanan, aku mencoba mengkondisikan pikiran agar tak tersangkut-sangkut. Tapi sialnya, usahaku menonton pikiran selalu saja gagal. Berkali-kali kucoba mengkondisikan pikiran-pikiran yang berdatangan layaknya iklan. Membiarkan mereka datang, mampir sebentar, lalu kembali pulang. Tapi usahaku sia-sia. Sebuah pikiran bernama was-was meraung-raung tak mau pulang. Ya, aku memang sedikit was-was. Kepikiran kalau di tengah perjalanan, hujan menjadi lebih lebat dari yang kubayangkan. Sedangkan aku hanya berbekal jaket angkatan warna merah yang tebalnya tak sampai satu senti. Jas hujan? Haha. Sempat terpikir dalam benak untuk  mampir ke toko, membelinya. Tapi karena uang lembaran di dompet tinggal beberapa biji
---habis untuk belanja di Gramed kemarin, jadi kuputuskan untuk tidak jadi beli. Haha. Tapi kewas-wasanku itu tidak berlangsung lama. Sebab tak lama dari itu, pikiran-pikiran baru  bermunculan, mendesak pikiran bernama was-was untuk keluar. Tepatnya, ketika terdengar suara merdu milik para muadzin---mengumandangkan adzan maghrib.  Bersaut-sautan antara surau satu dengan surau lainnya. Aku pun memperlambat laju kecepatan (agar tidak kualat saat di jalan ---EHH:v). 

Embusan angin senja yang terasa adem sekali, dibarengi lantunan suara merdu milik muadzin yang entah siapa, membuatku terbawa suasana. Suasana itu membawa pikiranku untuk mundur beberapa langkah kebelakang. Mengingat-ingat perbincangan hangat yang terjadi beberapa waktu lalu di suatu majelis ilmu. Pada perbincangan itu, aku dan beberapa anggota majelis lainnya mengikrarkan sebuah janji. Kami berjanji untuk membiasakan diri menikmati adzan. Kami berjanji untuk berhenti dari aktivitas apapun setiap kali mendengar suara adzan. Lalu meresapi setiap lantunannya, pun mengkondisikan diri untuk berada dalam keadaan mindfulness---{Kondisi dimana Anda memiliki kesadaran penuh dan atensi yang tinggi atas apa yang Anda alami, rasakan, pikirkan, pun hal-hal yang terjadi di sekeliling Anda, pada suatu waktu (Zahra, 2017).}
“Jika kalian mendengar mu-adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena barangsiapa yang bershalawat untukku sekali, maka dengannya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah al-wasilah kepada Allah untukku. Ia adalah sebuah tempat di Surga yang tak diraih kecuali oleh seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap ia adalah aku. Barangsiapa memintakan untukku wasilah kepada Allah, maka dia layak mendapat syafa’atku.” -Rasul SAW
Setidaknya diperjalananku kali ini, bukan hanya dingin yg kudapatkan. Melainkan kesadaran bahwa ada yang lebih nikmat dari mendengarkan musik saat sedang dijatuhcintakan. Yaitu MENDENGARKAN & MENIKMATI ADZAN, saat berkendara, di kala senja, bersama hujan. Sungguh! Percayakan? :D

***

Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?

Berkendara di malam hari memang mengerikan bagi sebagian orang. Seperti suasana di jalan yang kulalui setelah seperlima perjalanan. Jalan itu memang bukan jalan raya. Pantas saja, jarang ada kendaraan roda 6 yang melaju di atasnya. Tapi suasana seperti itu sangat menguntungkanku. Aku jadi bisa lebih leluasa berkendara. Menambah laju kecepatan pun bisa dihukumi aman-aman saja. 

Sembari membiarkan roda motor bergelinding dengan laju yang sedikit lebih cepat, aku membiarkan pikiranku berkelana. Ia berkelana ke Taman Cinta. Tak jauh berbeda dengan tempat yang kukunjungi di perjalananku sebelumnya. Entah mengapa, tiap kali aku berkendara sendirian, pikiranku selalu saja melesat ke sebuah taman bernama Cinta. Padahal aku tahu persis,  pada akhirnya aku akan terluka. Sebab ada rindu di dalamnya. Rindu yang membuat memar ulu hati. Membuat nyeri tak kunjung berhenti. Tapi tetap saja, tiap kali aku berkendara, imajinasiku selalu saja tak pernah bosan mengunjunginya. Entahlah, mengapa. 

***

Tempat itu bernama Taman Cinta. Taman megah yang hanya dihuni oleh 2 manusia biasa. Seorang putri kecil manja dan seorang lelaki paruh baya yang bijaksana. Mereka memang hanya berdua saja. Tapi tawa putri kecil itu tak pernah ada habisnya. Rupanya, lelaki paruh baya itulah sumber bahagianya. 

Pernah suatu hari, sang putri kecil pergi meninggalkan taman. Ia pergi mengelilingi jagat raya untuk bertamasya, bersama teman-temannya. Bahagia luar biasa pun terpancar di parasnya. Pasalnya, itu kali pertama ia pergi dari istana seorang diri. Bukan hanya pergi ke seberang jalan, tapi ke beberapa kota nan jauh di sana. Tempat demi tempat ia kunjungi. Menyusuri desa, hingga kota. Menapaki jalan sempit menghimpit, hingga jalan raya yang luar biasa luasnya. Dan di perjalanan itu lah ia menyadari bahwa dirinya sudah beranjak dewasa. Bukan lagi menjadi gadis kecil nan manja. 

Setelah puas bertamasya, ia pun bertekad untuk menjadi pribadi mandiri. Ia memberanikan diri untuk meminta izin kembali ke taman seorang diri. Ia tidak ingin lelaki paruh baya itu kerepotan menjemputnya. Ia ingin pulang sendiri. Seorang diri. Akan tetapi permintaan izinnya tak diterima. Lelaki paruh baya yang setengah mati mencemaskannya itu, benar-benar tidak tega membiarkan sang putri kecil menempuh perjalanan jauh tanpa ada yang mendampingi. Ia takut putrinya kenapa-napa. Ia takut kalau putri kecil itu kedinginan di jalan, kelelahan, pun kalau-kalau tersesat dan tak tahu jalan pulang. Ya, lelaki paruh baya itu memang sangat mencintai sang putri kecil. Ia tetap saja menjadi bayang-bayang tiap kali putri kecilnya pergi, meski putri kecil itu berkali-kali bilang bahwa dirinya bukan anak kecil lagi. 

Sang putri kecil sudah beranjak dewasa. Tapi lelaki itu tetap saja mengikuti tiap langkahnya.

Atau barangkali itu yang namanya cinta?
Cinta dari laki-laki biasa untuk buah hatinya-kah?

Jikalau itu yang disebut cinta, cinta dari seorang laki-laki biasa, maka ketahuilah,
Cinta itu sungguh menguras kalbu. Menyulam hatiku dengan rindu. Rindu menggebu, kala si putri kecil tak bisa lagi bertemu (dengan lelaki paruh baya itu). Sungguh, cinta itu benar-benar menyuras hatiku.

Hatiku? Ya. Sebut saja putri kecil itu "aku". Dan lelaki paruh baya itu.. ... anggap saja dia, ayahku.
Ayahku yang sungguh menyayangiku. 

Ayahku, yang sangat benci melihat putri kecilnya kehujanan, sendirian, di kala malam.

***

Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?
Taman Cinta.
Itulah mengapa; aku suka berkendara saat hujan. 
Ya, aku sangat suka hujan. Hujan memberiku ruang untuk meluapkan rindu. Leluasa meluap, tanpa seorangpun tahu, bahwa yang mengalir membasahi pipi ialah air yang bermuara dari rindu. Dari mata hatiku. Bukan air hujan dari langit itu. Karena itulah mengapa aku suka hujan. Sebab hujan menenangkan. Sebab hujan memberi kesejukan----pada tiap hati yang kehausan. 

***

Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?

Embusan angin yang makin lama makin kencang, diiringi suara petir yang membisingkan pendengaran, membuat suasana jalan Pantura semakin mencekam. Aku mulai menggigil. Tubuh sudah penuh dengan air. Tak menyisakan setitik ruang pun yang kering. Ingin menepi, berteduh menghangatkan diri, tapi tak jadi. Lagipula untuk apa? Toh perjalanan masih panjang. Bumi Kartini masih 75 kilo meter lagi. Suhu tubuh yang terasa sudah berada di minus sekian derajat celcius pun tak akan bertambah naik bila kutepikan kendaraanku untuk berteduh.
"AKU KUAT. AKU HEBAT! AYO SEMANGAT!" teriakku dalam hati, menyemangati raga yang kian mengkerut pun kulit yang kian keriput---karena kedinginan.

Aku meneruskan perjalanan. Kupercepat laju kendaraan, tapi dengan penuh kehati-hatian. Kecelakaan yang kusaksikan di jalanan yang kulewati beberapa kilo meter sebelumnya, cukup membuatku trauma dan jauh lebih waspada. "Oh God.. aku tak mau jatuh konyol seperti pemuda itu," gerutuku seraya menguatkan tubuh yang ingin pingsan karena kedinginan. 

Angin kencang yang menggoyangkan pepohonan membuat listrik berhenti menerangi jalanan. Listrik seketika padam. Hanya rembulan dan lampu-lampu kendaraan yang menerangi jalan. Aku pun memperlambat laju kendaraan. Kulihat kanan-kiri. Satu/dua bangunan yang kulalui tampak gelap gulita, nyaris seperti rumah tak berpenghuni. Aku mulai gemetaran. Bukan karena ketakutan, tapi karena kedinginan yang terus-terusan menjalar. Aku mencoba tenang. Kuposisikan sorot mataku lurus ke depan, lalu kucoba menikmati perjalanan. 

Tak lama dari itu, tetiba saja, mataku terbelalak. Menyoroti seorang lelaki bergamis putih yang berdiri di tepi jalan, persis beberapa meter dari hadapan. Ia melambaikan tangan ke arahku. Seperti ingin meminta tumpangan, atau menawarkan jas hujan? Haha. Entahlah. Kala itu aku tak berpikir panjang. Ku arahkan roda kendaraanku ke tepi jalan, lalu ku berhentikan tepat di depannya. 

"Bolehkah aku menemani perjalananmu, nak?" tanyanya yang membuatku tak bisa menolak. 
Ternyata ia seorang lelaki paruh baya yang berusia kurang lebih 50-an. Ia tak membawa apapun, kecuali sebuah payung dan jaket tebal yang kemudian diberikan kepadaku. Bapak itu kelihatannya baik, sama sekali tidak kutemui tampang penjahat di parasnya. Aku hanya manggut-manggut dan sedikit senyum. Setelah kukenakan jaket yang beliau berikan, kami pun melanjutkan perjalanan.
"Bapak dari mana, dan mau ke mana?" tanyaku mengawali pembicaraan.
"Saya musafir, nak. Perjalanan saya masih panjang," jawab beliau singkat.
"Memangnya bapak mau ke mana?" tanyaku lagi.
"Saya penduduk Negeri Cinta, nak. Di sana ada Taman Surga yang megahnya luar biasa," jawabnya yang membuatku semakin penasaran.
"Memangnya, ada apa saja di sana? Apakah saja boleh mengunjunginya?"
"Taman Surga adalah taman yang penuh kebahagiaan. Di sanalah tempat bagi para perindu."
"Perindu????"
"...."

Percakapan itu mengalir begitu saja. Panjang, sepanjang jalan Pantura. Aku jadi memahami satu hal, bahwa perjalanan panjang akan terasa lebih menyenangkan bila tak sendirian. Bahwa perjalanan panjang akan lebih membahagiakan bila dilalui dengan berduaan, bersama hujan. Haha.

Bapak bergamis putih itu bercerita kepadaku tentang banyak hal. Tentang Negeri Cinta, yang di sanalah surga bagi para pecintaNya. Tentang Taman Surga, yang di sanalah tempat berkumpulnya para perindu.

Perindu???? Termasuk perindu-kah aku?? 

"Saya juga perindu, pak. Saya perindu yang merindukan sosok panutan yang telah lama pergi. Saya teramat merindukannya, sampai-sampai saya berharap ia akan menghampiri saya. Menemani saya setiap kali saya sendirian. Saya teramat merindukan-nya, ia yang sangat khawatir ketika buah hatinya kehujanan, sendirian. Ya, ia sangat memerhatikan saya. Apapun yang saya lakukan, dan kemana pun saya pergi, ia selalu tahu, ia selalu ada. Ia memang sangat memanjakan saya, pak. Tapi jangan salah, ia adalah sosok yang sangat tegas. Luar biasa tegasnya. Tak semua yang saya mau akan ia turuti segera. Tak semua permintaan saya akan ia kabulkan seketika. Ia mengajari saya untuk berjuang dahulu, sebelum keinginan saya terpenuhi. Ia mengajari saya untuk tetap bangun sendiri, makan sendiri, apa-apa sendiri, meskipun tubuh meriang tak ketulungan. Merengek? Haha, ia tak pernah mengajari saya demikian. Ia memang penyayang, pak. Tapi bukan berarti apapun yang saya minta segera di-iya-kan.
Dan ketika ia pergi, saya baru menyadari arti dibalik sikap kerasnya. Pun arti dibalik ketegasannya. Ya, saya benar-benar baru menyadari, bahwa ada milyaran arti dibalik sikap tegas ayah.
Saya sangat merindukannya, pak. Teramat sangat. 

Lalu, apakah saya ini termasuk salah satu dari para perindu yang berhak menghuni Taman Surga itu?"

Adakah yang lebih menyakitkan dari rindu?
Rindu yang tiada penawarnya, selain pertemuan dalam angan. Mimpi-mimpi yang sesekali, dan doa-doa yang senantiasa.
Adakah yang lebih menyakitkan dari rindu?
Rindu yang sesaknya bukan sekedar ketika kau putus cinta. Disuapi ribuan janji, dijatuh-cintakan setengah mati, lalu ditinggal pergi. Bukan. Ini bukan sekedar ketika kau patah hati.
Adakah yang lebih menyakitkan dari rindu?
Rindu yang tak memungkinkan adanya pertemuan. Seperti lautan yang merindu awan. Seperti kemarau yang merindu hujan.
Seperti mereka, yang meradang rasakan rindu, tapi tak bisa bertemu. `
Adakah yang lebih menyakitkan dari tak bisa bertemu?
ADA????
"ADA. Hanya saja, kau belum pernah merasakan. Belum terlalu kenyang makan asam-garam. Belum dikasihtahu, bahwa *kehilangan bukanlah satu-satunya hal yang paling menyakitkan. Bukan.
Lalu apa? Lalu kau hanya perlu menikmati hidupmu. Tak perlu bertanya-tanya atau menerka-nerka. Mengapa? Sebab kelak kau akan tahu sendiri. Seiring dengan bertambahnya usiamu. Seiring dengan dewasanya pikirmu. Seiring dengan makin lapangnya hatimu. Kau akan tahu. Bahwa, ada yang lebih menyakitkan dari rindu, ada yang lebih menyakitkan dari tak bisa bertemu. Ada."
~~Seperti lautan yang merindu awan, barangkali begitulah rinduku. Yang meradang, karena kehilangan. 


"Siapa yang lebih kau rindukan, nak? Apakah kerinduanmu pada ayahmu, jauh lebih besar dari kerinduanmu akan surga Tuhan?"

"Tentu saja, saya lebih merindukan ayah saya, pak. Bahkan saya  jarang sekali berbicara tentang surga."

"Mengapa nak?"

"Sebab dahulu ketika saya kecil, saya pernah bilang pada ayah bahwa saya mau rajin sholat agar bisa menjadi penghuni surga. Kala itu aku sangat terobsesi pada surga, jadi
kupikir, tujuan beribadah adalah demi mengharap surga. Tapi ayah menasihatiku. Beliau bilang bahwa tujuan beribadah bukanlah demi mengharap surga atau menjauhi neraka. Tujuan beribadah adalah demi mengharap RIDHO ALLAH Ta'ala. Demi mengharap cintaNya. Bukan begitu?"

Sungguh. Aku mendapatkan banyak hal di perjalananku kali ini. Bukan hanya dihujani air dari langit, tapi pikiranku juga dihujani banyak ilmu. Ilmu yang mungkin telah lama kulupakan. Pun ilmu yang belum pernah kudengar.
Bapak itu mengingatkanku, bahwa di dunia ini ada 3 macam jenis manusia. Ada manusia yang hanya mengharapkan surga, ada manusia yang hanya mengharapkan ridho dari Tuhannya, ada pula manusia yang beribadah karena tidak mau masuk neraka. Sedang, sebaik-baik manusia adalah yang beribadah karena mengharap ridho dari Tuhannya. Ia tidak akan peduli dengan surga dan neraka. Sebab baginya, yang terpenting adalah Tuhan bersamanya, dan ia bersama Tuhan. 
Itulah yang dinamakan perindu. Perindu yang merindu cinta dari Tuhannya. Bukan surga dan seisinya. 

"Kalau begitu, siapakah yang lebih kau rindukan, nak? Ayahmu, atau Tuhanmu?"

Pertanyaan itu begitu tajam. Menampar jiwaku. Membelalakkan mata hatiku. Pertanyaan itu, membuatku harus tertegun beberapa saat sebelum aku berhasil menjawabnya. 

"Tentu, setiap hamba pasti merindukan Tuhannya. Tapi tiap kali rindu itu meradang, selalu ada waktu dimana saya bisa bersimpuh, berkomunikasi denganNya. Saya bercengkerama denganNya setiap waktu. Dalam setiap sholat dan munajat. Tapi saya juga rindu pada ayah. Dan saya sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengannya. Kecuali hanya dengan mimpi-mimpi yang sesekali, dan doa-doa yang senantiasa. Jadi, menurut saya, rindu pada Tuhan, dan rindu pada manusia itu dua hal yang berbeda. Moga saja, Tuhan selalu menjadi yang terdepan."

"Kau yakin, Tuhan selalu kau nomor-satukan? Bagaimana kalau Tuhanmu cemburu?"

Lagi-lagi pertanyaan itu membelalakkan mata hatiku. Aku terdiam, nyaris bungkam. Hanya memandangi jalanan, mengemudi dengan kecepatan standar. Bagaimana kalau Tuhanmu cemburu? Pertanyaan itu meraung-raung dipikiranku. Menampar-nampar. Tak mau hilang. Bagaimana bila Tuhanku cemburu? Aku memang sudah lama tak mendapatkan pertanyaan semacam itu. Bahkan mungkin aku hampir lupa. Aku hampir lupa kalau aku kerap kali membuatNya cemburu. Dan barangkali, aku pernah terlalu sibuk mencintai manusia, hingga lupa segalanya. Hingga lalai menjalankan perintahNya. Aku, ahh aku memang kerap membuat Tuhanku cemburu. Dan sudah lama aku tak menyadarinya. 

"Aku.., terlalu sering saya membuatNya cemburu, pak. Teramat sering. Lalu apa yang harus saya lakukan? Selama ini saya selalu ingin bertaubat selamanya, tapi nyatanya hanya di bibir saja,"

Apa yang harus saya lakukan? Pertanyaan itu sudah lama meraung-raung dipikiran. Ingin sekali kuluapkan, tapi tak pernah kesampaian. Apa yang harus kulakukan? Itu adalah pertanyaan kenangan. Kenanganku bersama laki-laki terhebatku. Laki-laki biasa yang sering menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih berlalu lalang di pikiran, yang belum sempat kuutarakan. Laki-laki yang sering kupanggil 'ayah' ini selalu saja tahu apa yang tidak kumengerti dan apa yang harus kuketahui. Yap, dialah penerang sekaligus pengarahku untuk tetap berlari ke tujuan ketika langkahku keliru. Dan kini aku merindukan saat-saat itu. Sudah lama aku tak bertanya, "Apa yang harus kulakukan?" ketika langkahku keliru dan seruan menuju kebaikan samar-samar kudengar. 

"Ayah, apa yang harus ku lakukan?"

Butiran air hangat berlinang menemani perjalanan yang tak lagi panjang. Berderai, berbaur dengan hujan. Siapapun tak akan tahu bahwa pengemudi sepeda motor berwarna merah ini sedang berurai air mata. Siapapun tak akan pernah tahu, sekalipun para pematuh lalu lintas di lampu merah kota Pecangaan itu. 

Biarkan air mataku berurai. Berbaur bersama hujan. Berderai terus berderai. Mengalir, ke ujung kaki, aspal, menggenang bersama hujan, lalu ke sungai, hingga ke lautan. 

Karena itulah,
Aku suka hujan. 

"Perbaiki sholatmu, nak!" bisiknya perlahan yang segera dicerna oleh pikiran, hati, dan jiwaku.
"Tinggikan kualitas sholatmu, nak!" bisiknya lagi yang membuat jemariku gemetar tak mampu mempertahankan laju kecepatan.
"Sholatlah seperti ketika kau tahu bahwa esok kau akan mati. Sebab ketika kau menjaganya (sholat), maka Ia akan menjagamu," 
 
dan lagi, beliau membisikiku sesuatu yang bukan sekedar bisikan. Lagi, setelah ribuan hari lamanya aku merindukan arahan dari lelaki tersayang yang jadi panutan, di perjalanan ini, perjalanan yang penuh dengan air mata rindu, dari langit pun dari mata-hati yang melebur jadi satu, aku kembali mendapat sebuah arahan, pencerahan dari laki-laki biasa yang jiwanya seperti dia--
--yang sudah tenang di surga Tuhan. Seorang laki-laki paruh baya, bergamis putih, berkopyah putih, yang tubuhnya tak basah meski kehujanan, yang membuat perjalanan ini begitu hangat meski hujan menghantam habis-habisan, yang menjadikan puluhan kilo meter ini terasa begitu dekat dan cepat. Lelaki paruh baya berusia kurang lebih 50 tahun itu. Yang telah mengantarkanku menuju Negeri Cinta, yang di sanalah ayah berada.

Kala itu, setelah menempuh 85 kilometer, aku berhenti di tepi jalan. Sebuah jalanan sepi yang tiada siapapun kecuali kami, hujan, dan petir yang menyambar. Beliau turun dan berkata kalau sudah sampai tujuan. Lalu, mempersilahkanku melanjutkan perjalanan. Sendirian. Beliau hanya tersenyum, lalu bilang,

"Lain kali jangan pulang malam-malam lagi ya, anak bandel! Lanjutkan perjalananmu! Tak usah khawatir, ayah selalu menjagamu dari kejauhan. Pemberanikan? :)"

"Ayah..?" 
Ternyata prasangkaku benar. Lelaki paruh baya itu bukan sembarang orang. 
"Ayah tunggu! Tapi aku ingin ikut bersamamu! Ayah tungguuu!!"

Aku gusar tak karuan. Air mataku mengucur deras bak banjir bandang. Sesak. Sungguh sesak luar biasa. Pikiranku buyar. Tak tahu arah pulang. Tak mau ditinggal sendirian. 

Akupun berlari. Meninggalkan sepeda motor yang tak lagi kinclong karena terciprat genangan air hujan. Mengejar laki-laki paruh baya yang tak kutahui namanya dan ternyata sosok yang kucinta. Aku berlari. Terus berlari. 

"Ayah tunggu!!" 

Sekencang kencangnya, secepat-cepatnya, aku berlari.

Hingga akhirnya,

BRAKKKKK
Aku berhasil mendobrak gerbang maha luas, tempat ayah berada.

 ▪Gerbang Utama Negeri Cinta▪▪

"Wow, inikah yang namanya Negeri Cinta? Kok panas ya?" (memegang jidat)

"Alamak.. bok yo nduk.. nduk," teriak ibu sambil geleng-geleng kepala. "Panas, panas, iya panas! Makanya kalau dibilangin orang tua itu jangan bandel! sudah dibilang jangan pulang malem-malem! Untung semalem pingsannya pas sudah nyampek gang,"

"Hah?" (mencoba bangkit, naik ke kasur) "Loh loh kok udah di rumah aja? Negeri Cintanya mana, buk?" (mengucek-ngucek mata, lalu menguap ZZzzz) 


***

Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?
Hujan, terimakasih. Kau mengajariku banyak hal. :)


----sekiaEnD----


 Jpr, 14/01/2017
 -DFZ-



#JustForFun
#AmbilBaiknya#BuangBuruknya :v
#MogaBermanfaat :)
 
#PerbaikiSholatmu,Ya! *keepsmile*

Monday, December 19, 2016

Maafkanku Jauhimu // shortstory


Wanita itu,
Aku memang sudah lama menjaga jarak dengannya.

Bukan tanpa sengaja, tapi memang sengaja. Aku sengaja menjauh, menghindar, menutup rapat-rapat telinga. Bukan, dia bukan sosok yang layak untuk kuasingkan memang. Dia sama sekali bukan penjahat kelas kakap. Ini memang murni salahku. Dan aku sedang berjuang untuk memperbaikinya. Berjuang untuk menyapanya kembali, entah kapan.

Wanita itu,
Beberapa hari lalu sialnya kita berpapasan. Ya, aku hampir saja bertatap muka dengannya. Tapi untungnya aku bisa secepat kilat melenyapkan diri dari pandangannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menata diriku bila kita jadi berjumpa kala itu. Barangkali air mataku akan tumpah. Entah karena kerinduan atau justru kemarahan. Ya, aku memang se-childish itu.

Traumata ini memang harus segera kuselesaikan. Sudah berkali-kali aku memimpikan hal yang sama. Tentang itu-itu saja. Ada kamu, dan wanita itu. Ada romantisme, ada pula sendu yang melingkupinya. Mimpi yang berulang-ulang ini mengisyaratkanku bahwa ada traumata yang harus segera kuselesaikan. Ya, aku harus segera menyelesaikannya. Dan ini sama sekali tak memerlukan campur tanganmu, pun wanita itu. Ini hanyalah masalah hati, yang mungkin belum sepenuhnya merelakan kau pergi. Sebab merelakan memang tak semudah menjatuhkan hati. Moga saja, aku segera menemukan jalanku, jalan terang sehingga kau bisa kurelakan. Karna aku sudah terlalu lelah dengan traumataku. Aku sudah terlalu muak dengan mimpi-mimpi romantisme itu.

***

Pernah suatu hari,
Di suatu majlis ilmu, wanita itu menghampiriku. 
Tetiba saja ia berlari kearahku lalu sekonyong-konyong memelukku erat. Aku pun tak bisa menghindar. “Astagfirullahaladzim.. mimpi buruk apa lagi ini????” (kataku dalam hati). Mau bagaimana lagi, tak ada pilihan lain selain menerima kenyataan bahwa ia ada di hadapanku. Persis di hadapanku. Ia begitu ceria kala itu. Entah karna bertemu denganku, atau karna ada sebab lain. Aku pun segera menyapanya dan mengkondisikan gemuruh di hatiku agar tidak meluap.

“Mbak, kemana aja? Aku susah sekali menghubungimu,” tanya wanita itu.
Aku menelan ludah. Dengan sangat hati-hati kujelaskan padanya, “Maaf dek, mbak lagi sibuk. Aku sempat ingin menghubungimu, tapi nggak bisa.”
“Gak bisa mbak? Kenapa?”
“Maksudku, aku terlalu sibuk sampai-sampai nggak sempat menghubungimu,” jawabku mencoba meyakinkan.

~~Ya, aku memang sengaja menjaga rahasia ini. Rapat-rapat di dalam hati. Biar saja ini menjadi traumata, yang entah kapan sembuhnya.~

 “Mbak, aku mau bilang …”  
Seakan tahu apa yang akan ia sampaikan, aku pun segera memotongnya, “Sudah, mbak sudah tau, Mau. Nggak perlu kau ceritakan lagi, hehe,”
Ia pun segera menanggapi, “Loh enggak mbak, aku cuma mau bilang terimakasih. Mbak aku mau bilang makasih aja susah banget ya..”
“Mau..”
Mbak, mohon dengerin dulu, aku mau ngomong.. beberapa bulan ini mbak kemana? Sesibuk itukah? Semua akun media sosial mbak kenapa nggak bisa dihubungi? Padahal aku cuma mau bilang *Terimakasih*. Mbak, aku sudah menemukan kebahagiaanku sekarang. Aku sudah menemukan cinta sejatiku, dan itu berkat mbak. Bahkan, aku sangat berharap mbak datang ke resepsi kami, tapi…”
Kita terdiam beberapa saat.
Lalu dengan hati-hati aku mulai berbicara, “Kamu, e… kalian, sudah menikah?
Iya mbak, sudah 3 minggu yang lalu. Ahh kenapa mbak nggak datang? Padahal aku ingin mengumumkan ke semua tamu undangan bahwa mbak lah yang mempertemukan kami.”
“Aih.. aku cuma perantara Mau, itu semua sudah kehendak Tuhan. Selamat ya,” kataku pelan.

Ahh, kali ini aku tak bisa lagi menyembunyikan gerutu hati. Satu demi satu air di sudut mataku berhamburan keluar. Aku tak bisa menghentikannya. Aku pun segera memeluk wanita itu erat-erat. Ahh selama ini aku memang ingin memeluknya. Aku menyayanginya sebagaimana aku menyayangi adikku sendiri. Tapi entah mengapa, perasaan jahat selalu saja menang menguasai hatiku. Mungkin selama ini ada rasa kesal yang terselubung, sampai-sampai menyapanya saja aku tak mau. Ahh atau karna aku terlalu takut merasakan kesakitan lagi? Entahlah, apa yang setelah ini ia tanyakan pada tangisku.

Ahahahh maaf ya Mau, aku cuma terharu. Maaf, air mataku membasahi punggungmu,” kataku seusai pelukan itu.

“Apa yang mbak sembunyikan? Aku merasa ada yang janggal selama ini. Mengapa persahabatan mbak dengan mas Ahmad mulai pudar? Apa karena aku?"

Kamu ngomong apa Mau? Kata siapa? Aku dan Ahmad masih berteman baik. Hmm.. Ahmad sangat baik Mou, jadi tak pantas kalau aku memutuskan silaturrahim dengannya. Dan kamu Mau, ahh aku tak pernah menyangka kalau kau adalah tulak rusuk yang selama ini dicarinya, haha,” kataku, kepada wanita yang sering kupanggil Mau itu.

“Benarkah? Kalian tetap berteman baikkan? Mbak, terimakasih banyak.. Terimakasih sudah membantu mas Ahmad menemukan kekasih sejatinya. Aku sangat bahagia memilikinya,” ucapnya yang membuat palungku makin terisak.

“Mau, jaga dia ya.. :') Maaf aku harus segera pergi, karna masih ada urusan. Sampai jumpa.”

Bukan tanpa sengaja aku memutuskan untuk pergi. Aku harus pergi. Ya, aku harus pergi sebelum gemuruh di hatiku gagal menahan rahasia hati yang terus-terusan mendesak untuk keluar. Maka itu aku harus pergi, meninggalkan wanita itu dengan tanda tanya yang mungkin menyelinap dalam naluri. Ya, memutuskan untuk beranjak pergi adalah pilihan terbaik agar cemburuku yang meradang ini tak berhamburan keluar.

***

Pernah suatu hari ---aku bermimpi yang demikian. Ya, untungnya pertemuan itu hanya ada di dalam mimpi. Pelukan itu hanyalah bunga tidur yang sampai saat ini selalu menghantui.
Haha, untungnya hingga saat ini aku masih bisa menjauhimu, Mau. Tak ada pertemuan di dunia nyata. Yang itu artinya, rahasia hatiku akan tetap terjaga.
Tiada yang tahu, selain aku… dan Ahmadmu.
Mau, maafkan aku menjauhimu. Sebab aku cemburu. Sebab aku mencintai lelakimu. Sungguh, tak lain maksudku, hanyalah agar bisingnya cemburuku tak melahirkan rasa benci yang terselubung padamu. Maafkan aku.


Smg, 12/19/2016
-dfz-


#shortstory

Categories

Follow me on Facebook

Follow me on Tumblr

Writing is the most fun you can have by yourself. - Terry Pratchett

Powered by Blogger.
Adsense Indonesia

About Author

Hamba Tuhan yang sedang belajar menulis.

Video of Day | Click on the link below to download the video!

Popular Posts