Diah Fatimatuzzahra
5:18:00 PM
“Bu, aku ingin
bercerita,”
Gadis cantik yang
mulai beranjak remaja itu akhirnya mau bersuara.
Seperti biasa, setiap
sore, di taman belakang rumah, aku selalu menyempatkan diri untuk beralih peran
menjadi teman curhat bagi putri semata wayangku.
Tapi tidak seperti
biasanya, kali ini ia harus dipancing dulu agar mau bicara terus terang. Ia
seperti ingin sekali bercerita, tapi malu-malu untuk mengungkapkan. Biasa,
masalah krusial ABG. Apa lagi kalau bukan …
“E hee.. emm….
tidak jadi ding bu, hehe”
“Hmm.. Kamu tahu nak?
Dulu waktu ibu muda.. …”
“Waktu ibu muda?
Gimana gimana bu?”
(Dia mulai
terpancing). Aku pun melanjutkan ceritaku.
“Dulu waktu ibu muda,
ibu pernah tertarik sama seseorang. Orangnya baik. Pinter. Sholeh. Paling aktif
gitu di sekolah.Tapi sayang ibu beda sekolah sama dia. Hehe.. hmm”
“Lalu bu? Dia juga
menyukai ibu?”
“Sayangnya nggak nak,”
“Yahhh…”
“Menurut ibu, dia
terlalu baik. Ibu merasa nggak pantas. Akhirnya ibu cuma bisa mengagumi dia
diam-diam. Bulan demi bulan, sampai berganti tahun. Kita nggak pernah ngobrol.
Bertemu saja jarang. Tapi entah kenapa ibu semakin jatuh hati padanya,”
“Kok bisa bu?”
“Ibu jatuh hati dengan
kepribadiannya. Dengan kecerdasannya, juga aktivitas-aktivitas yang ia lakukan.
Sayangnya, ibu cuma bisa mengaguminya diam-diam,”
“Lalu bu? Ibu tidak
mengusahakan sesuatu?”
“Berusaha dong!”
“Wah.. gimana gimana
bu?”
“Ibu berusaha untuk
menjadi lebih baik setiap waktu. Ibu berusaha untuk selalu mendoakan kebaikan
untuk dia. Agar dia selalu sehat, juga dilancarkan urusannya. Ibu pun berusaha,
minta sama Tuhan agar suatu saat, ibu disandingkan dengan seseorang yang
perangainya seperti dia,”
“Seperti bu?”
“Iya, karena waktu itu
ibu menyadari bahwa ibu bukan siapa-siapa. Ibu berpikir, kalaupun ibu berusaha
keras jadi lebih baik, ibu nggak akan bisa menyamainya. Tapi itu menjadi
motivasi tersendiri buat ibu untuk terus berusaha menjadi lebih baik,”
“Lalu, sampai kapan
ibu memendam rasa?”
“Sampai kapan ya..
sampai ibu bosan.. hahaa”
“Hm ibu.. ibu punya
penggantinya?”
“Melupakan dia itu
sesuatu yang sangat sulit untuk ibu lakukan. Apa lagi mencari penggantinya.
Hmm.. Dulu banyak sekali teman-teman ibu yang ibu tolak, karena ibu cuma jatuh hati
sama dia,”
“Wah wah sampai
segitunya bu? Uhh..”
Putriku mulai manyun.
Rupanya rasa penasarannya di awal perbincangan sudah beralih jadi bara
kecemburuan. Sambil menahan tawa, aku pun melanjutkan cerita.
“Tapi lama-lama ibu
jadi jenuh sendiri. Ibu hampir putus asa. Dan akhirnya ibu mulai berusaha
melupakannya,”
“Hmm..” Responnya cuma ‘hmm’ saja.
Tapi lirikannya sudah seperti orang yang kepo tingkat dewa. Putriku ini memang
menggemaskan.
“Sampai suatu ketika,
hal yang tak disangka-sangka pun terjadi,”
“Kenapa bu? dia
mengajak ibu bertemu?”
“Enggak. Dia cuma
menyapa ibu. Untuk pertama kalinya, setelah ibu mulai berusaha melupakannya.
Kita mulai sering mengobrolkan suatu hal. Tentang sebuah program kerja yang
harus kita kerjakan bersama. Tapi ibu berusaha untuk biasa saja. Toh memang
tidak ada apa-apa,”
“Hmm.. Tapi ibu jadi
makin suka?”
“Iya, ibu makin suka
dengan tutur katanya. Dia sungguh bijaksana. Tapi ibu tetap berusaha biasa
saja,”
“Tapi dia tidak
mengganggu ibu kan?”
“Alhamdulillahnya, iya
nak. Dia sering mengganggu ibu,”
“Ibu…….” Putriku
semakin kesal. Ia memang pecemburu.
“Iya, dia selalu
mengganggu pikiran ibu,”
“Dia suka sama ibu?”
“Enggak. Dia cuma
bilang, hmm..
Suatu hari dia datang
ke tempat kerja ibu. Lalu mengajak ibu ke suatu tempat. Lalu dia bilang,”
“Bilang apa bu?”
“Dia bilang,
Dia sudah lama jatuh
hati pada ibu. Tapi dia memilih diam, sembari menunggu segalanya siap. Dia juga
khawatir, bila pada akhirnya ibu akan menolaknya. Karena baginya, ibu….”
“Ibu…… Lalu, kenapa
ibu akhirnya sama ayah? Kenapa tidak sama lelaki itu saja?” Uh, putriku makin
menggemaskan.
“Tunggu dulu sayang..
ibu belum selesai bercerita..”
“Hmm.. lalu?”
“Lalu dia bilang,
‘will you marry me?’”
“Oh. Lalu ibu jawab
apa? Ibu tidak bilang YES kan?”
“Nggak kok sayang..
ibu cuma bilang,”
“Bilang apa bu?”
“Ibu cuma bilang,
‘Izinkan saya
beristikhoroh terlebih dahulu,”
“Uuhhh.. lalu
jawabannya?”
“Jawaban yang mana?”
“Hasil istikhorohnya
bu?”
“Hasilnya?”
“Iya bu.. huhuu”
“Hasilnya,
Hasilnya,
Hmmmm
Hasilnya,
sekarang kami hidup
bahagia.
Dan kamu lah
sumber bahagianya,”
“Maksud ibu.. .?”
“Iya nak. Itu cerita
ibu dan ayah waktu muda dulu.
Sekarang, ayo
ceritakan kisahmu!”
“Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu,”
Dia mendekat. Lalu memelukku erat,
sambil berbisik, “Ibu,
aku terharu,”
“Jadi, siapa
sosok yang berhasil mencuri hati putri ibu yang sukanya cemburuan ini?”
Akhirnya, ia pun
bercerita. Panjang sekali, lebih panjang dari ceritaku tadi. Kini aku jadi
lega, putriku menjadi sangat terbuka kepadaku. Tidak ada yang ia sembunyikan,
termasuk siapa yang diam-diam mencuri hatinya. Iya, putriku kini telah
berkenalan dengan cinta. Cinta-cintaan ala anak remaja. Tak apa. Itu
wajar-wajar saja. Pun sudah menjadi tugas perkembangannya.
“Ibu harap, kamu bisa
mengambil poin-poin positif dari apa yang telah ibu ceritakan ya nak!”
“Siap bu!”
“Hmm padahal.. …”
“Padahal apa bu?
“Padahal ibu dan
ayah ingin menjodohkanmu dengan …. Tapi tak apa, ini bukan zaman Siti Nur Baya,”
Kataku sebelum berlari
ke dalam rumah. Kami kejar-kejaran. Lalu berpelukan.
“Uhhh
ibuuuuuuuuuu,”
Bukan Cerita Pendek |
Smg, 9/5/17 | ©DFZ
0 comments:
Post a Comment