Komunikasi Interpersonal pada Keluarga Broken Home
Bagaimana mengembangkan komunikasi interpersonal pada keluarga
broken home?
Kasus keluarga broken home, dewasa ini sudah menjadi fenomena umum
yang sering dibicarakan. Akan tetapi siapa sangka bahwa ternyata masih banyak
masyarakat yang salah paham dengan istilah broken home sendiri. Kebanyakan
masyarakat awam hanya menerjemahkan broken home sebagai istilah yang digunakan
untuk menjuluki kasus perceraian. Mereka tidak mengetahui bahwa yang dimaksud
dengan keluarga broken home bukanlah sebatas perceraian saja, akan tetapi lebih
dari itu. Menurut Sofyan S. Willis (2013), yang dimaksud kasus keluarga pecah
(Broken Home) dapat dilihat dari dua aspek: pertama, keluarga itu terpecah
karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu
meninggal dunia atau telah bercerai; kedua,
orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga tidak utuh karena ayah
atau ibu sering tidak di rumah, dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih
sayang lagi.
Kegagalan keluarga dalam menjalin komunikasi dengan baik merupakan
salah satu faktor penting yang menyebabkan keluarga menjadi broken home.
Komunikasi interpersonal yang tidak lancar di antara anggota keluarga
menjadikan tidak adanya keterbukaan dan rasa saling peduli satu sama lain.
Akibatnya, keharmonisan dalam keluarga menjadi berkurang dan lama kelamaan akan
hilang. Di situlah kemudian akan timbul prasangka-prasangka negatif dalam
keluarga yang disertai dengan masalah-masalah yang semakin pelik. Lalu,
komunikasi yang bagaimanakah yang dapat membantu keluarga broken home
mendapatkan keharmonisannya kembali?
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki komunikasi
dalam keluarga. Salah satunya yaitu dengan melakukan komunikasi interpersonal
secara efektif. Dalam buku Komunikasi Antarpribadi, Alo Liliweri (1991:13)
mengutip pendapat Joseph A. Devito mengenai ciri komunikasi interpersonal yang
efektif, yaitu:
- Keterbukaan (openness), Kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi.
- Empati (empathy), Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.
- Dukungan (supportiveness), Situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan di mana terdapat sikap mendukung.
- Rasa Positif (positiveness), Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
- Kesetaraan (equality), Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
Melalui kelima aspek di atas (keterbukaan, empati, dukungan, rasa
positif, dan kesetaraan), maka komunikasi interpersonal yang efektif akan
diperoleh. Pada keluarga broken home, kelima aspek tersebut cenderung diabaikan
sehingga terciptalah masalah-masalah baru. Oleh karena itu, untuk menanganinya
keluarga broken home harus menumbuhkan kembali kelima aspek di atas. Di mana
seluruh anggota keluarga harus terbuka antara satu sama lain dalam hal apapun.
Dalam hal ini peran orang tua sangat penting guna mendidik anak-anaknya agar
memiliki sifat ekstrovert kepada kedua orang tuanya. Selain itu, rasa empati
dan saling peduli, saling mendukung, berpositive thinking, serta menyetarakan
atau membuat semua anggota keluarga merasa diperlakukan secara adil, juga
sangat dibutuhkan dalam memperbaiki komunikasi di keluarga broken home.
Apabila konflik yang terjadi pada keluarga broken home sudah
memanas sehingga komunikasi efektif sulit dilakukan, maka keluarga tersebut
membutuhkan orang lain yang berilmu sebagai penengah. Dalam hal ini, keluarga
broken home dapat menghubungi seorang psikolog atau konselor keluarga untuk
melakukan konseling keluarga. Konseling Keluarga sendiri merupakan suatu
upaya yang secara signifikan dapat membantu anggota keluarga dalam memecahkan
masalah komunikasi di dalam sistem keluarga. Pada cara ini, konselor keluarga
memimpin diskusi keluarga untuk menemukan solusi terbaik atas masalah yang
dialami keluarga tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Sofyan S.
Willis, beliau menjelaskan bahwa peranan konselor keluarga dalam konseling
keluarga ialah mengatur alur atau lalu lintas pembicaraan agar mencapai tujuan.
Adapun tujuan tersebut yaitu: Pertama, komunikasi antar keluarga kembali
lancar, konflik dan sikap bermusuhan telah sirna. Kedua, jika ada seorang
anggota keluarga bermasalah yang mengganggu seluruh sistem keluarga, maka
individu yang bermasalah tersebut kembali normal yaitu mampu beradaptasi dalam
keluarga, dan sistem keluarga kembali normal. Dengan demikian, konseling
keluarga dapat dijadikan sebagai sarana efektif untuk memperbaiki komunikasi
pada keluarga broken home.
Diah Fatimatuzzahra (15010115140206) | Fakultas Psikologi | Universitas Diponegoro
*Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Sosial (2015)
0 comments:
Post a Comment