123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 lasantha.wam

Writing is the most fun you can have by yourself. - Terry Pratchett

Thursday, January 28, 2016

Persembahan Terindah // Short Story



Bulan sabit di penghujung Rabiul Awwal kali ini terlihat sangat perkasa. Ia berkilau sendirian. Tanpa bebintangan lain yang biasa mengelilinginya. Kehadirannya kali ini membuatku merasa sedikit tenang.

“Setidaknya, di tempat sepi nan gelap ini aku masih ditemani oleh kilaunya si sabit yang teramat cantik,”  kataku memecah kesunyian.

Aku berjalan menyusuri jalan setapak nan sempit di sebuah dusun yang tak jarang dilintasi pengunjung. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari sosok yang ku kenal. Tapi tak satupun ku dapatkan. Malam itu begitu mendebarkan. Aku seperti tersesat di sebuah tempat asing, tak tahu arah, dan tak tahu tujuan. Kakiku begitu letih untuk melangkah lagi. Beberapa angkot melintas dihadapan. Namun tiap kali ragaku ingin menyetopnya, sebuah intuisi menghentikan niatku. Katanya, “Ada bahaya di dalamnya!”

Langkahku terhenti di depan sebuah masjid yang tak jauh dari jalur lintasan angkutan. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Dingin, namun penuh kehangatan. Ingin ku toleh, namun jantungku berdebar. Siapakah gerangan? Malaikatkah? Atau penjahat? Aku terdiam beberapa menit. Namun tangan itu tak jua lepas dari pundakku. Karna rasa keingintahuanku yang semakin mencekik, akhirnya ku beranikan diri untuk berbalik arah.

Aku berbalik arah. Dan ternyata... tangan itu miliknya. Sosok yang sangat kurindukan. Lalu ku peluk ia. Tubuhnya dingin, tapi penuh kehangatan dan menenangkan. Air mataku berderai, jatuh bersamaan dengan belenggu rindu yang akhirnya dapat terluapkan.

“Ayah? Ayah di sini?”

Ia hanya tersenyum. Lalu mengajakku masuk ke dalam masjid. Kami menunaikan sholat, lalu bermunajat. Air matanya berderai, mendoa untuk kebaikanku, keselamatanku, juga ketaatanku pada Tuhan.

Seusai itu, kami bercengkerama. Ku ceritakan semua kecamuk dalam kalbu. Semua suka dan duka yang selama ini ingin ku luapkan namun tiada sosok yang mau mendengar. Dan pada malam itu, segala kecamuk di dada menjadi benar-benar sirna dan menyisakan kelegaan yang luar biasa.
Malam semakin larut. Lalu akupun tertidur. Tertidur di dekapnya. Di dekapan ia, sumber kerinduan.

***

“Hati-hati ya sayang.. berbahagialah bersama ketaatan!” Sebuah bisikan syahdu membuatku terjaga.

“Ayah tunggu!! Mau kemana??”

Ia melangkah menjauhi lantai tempatku berpijak. Cepat, secepat sinar sorot yang tiba-tiba meredup. Ingin ku kejar, namun tak mampu.

“Ayah tunggu.....!!” jeritku pilu.

“Tunggu....ayahh aku punya sesuatu untukmu!!”

***

Layaknya sebuah kereta, kehidupan adalah sebuah perjalanan. Perjalanan yang dimulai ketika kami masih berada dalam dekapan kedua orang tua. Berjalan begitu saja hingga kami yakin bahwa keduanya tak akan meninggalkan kami dalam kemandirian. Hingga terkadang mereka pergi, lalu kembali lagi.. mengenalkan kami dengan sosok baru. Hingga perjalanan ini terasa sesak oleh penumpang, yakni orang-orang dalam kehidupan. Hingga pada akhirnya akan ada yang pergi dan tak kembali. Entah orang tersayang yang menjadi panutan, atau diri kami sendiri. Dan kami sama sekali tak miliki pengetahuan, tentang kapan dan di stasiun mana hal itu akan terjadi.

Seperti kini, ketika mereka bepergian entahlah kemana, dan aku harus terlantung-lantung seorang diri dengan kemandirian yang ku miliki.

Aku melanjutkan perjalanan. Ketulusan sang mentari pagi yang tak pernah letih menaungi alam dari kegelapan, membuatku bersemangat melangkahkan kakiku kembali. Ya, aku belajar dari si mentari yang tetap bersinar walau hujan menyakiti.

“Hey tunggu!”  kata sosok berkumis tipis yang tiba-tiba muncul dengan sepeda ontelnya.  -di seberang jalan.

 “Kamu?”

“Apa kabar?”

Aku hanya tersenyum.  Hening.

“Mau kemana?” tanya kami berbarengan yang spontan membuatku mengulangi pertanyaan.

“Hmm kau mau kemana?”

“Aku mau ke suatu tempat. Kau?”

“Ehm.. aku tersesat.”

“Kok? Ayo naik!”

“Tapi...”

“Sudah. Ayo naik! Banyak penjahat di sini!” tegasnya.

Dengan sepeda ontel yang tak lagi bagus namun masih terasa nyaman dinaiki itu, kami melanjutkan perjalanan. Ia mengajakku ke suatu tempat yang hendak ia kunjungi. Aku hanya mengangguk pertanda setuju. Ya mau bagaimana lagi, di tempat asing ini aku tak menemukan siapapun yang ku kenali, kecuali dia.

“Kok ke sini?” tanyaku heran.

Ia hanya tersenyum, lalu menggiringku mendekati batu nisan yang entah milik siapa.

Assalamualaikum ayah.. maaf aku baru sempat mengunjungimu,” tuturnya kepada ruh dalam makam itu.

“Ini?? ...” tanyaku ragu-ragu.

“Ohiya, perkenalkan ayah.. ini temanku, Zainab. Ia mengajariku banyak hal.”

Ia tersenyum. Akupun tersenyum. Lalu kami menunduk, larut dalam kesenduan. Bermunajat, memohon keridhoan atasnya.

Setelah itu kami pamit.

“Aku jadi lebih tenang sekarang. Rinduku sudah sedikit mereda,” ucapnya sebelum melanjutkan perjalanan.


***

Kami berhenti di sebuah gubuk kecil tak jauh dari makam. Ia menyodorkan sebuah roti dan sebotol aqua.

“Lumayan, penunda lapar!!” celetuknya.

Ia melanjutkan, “Apa yang kau cari di kota mati ini? Kok bisa sampai sini?”

“Entahlah.. aku hanya mengikuti langkah kakiku. Hingga akhirnya aku berada di kota asing ini. (sok serius :p)”   (Hening)     “Hmm.. tapi seneng. sempet bahagia, walaupun pada akhirnya kecewa L.” Lanjutku.

“Hmm.. what the reason makes you happy?”

“Hehee.. kemarin malem aku ketemu ayah dong!! :D”

“Ahh jangan kumat deh! Serius!! What makes U happy?”

Aku melotot. Lalu berkata tegas, “HEY!! I’M 1000% SERIOUS!! Mungkin itu hadiah dari Tuhan =D”

“Ahhh stress lu!!” jawabnya kesal.

30 menit berlalu. Lalu kami melanjutkan perjalanan.
Berhentilah kami di sebuah musholla milik sebuah yayasan. Kami beristirahat sejenak, lalu menunaikan sholat Dzuhur.
Di teras musholla itu kami kembali membuka perbincangan.

“Ternyata ikhlas itu indah ya.. ya nggak??”

Aku terpaku pada sebuah pemandangan di depan mataku. Kedamaian sosial.

“Aku belajar banyak hal loh dari kejadian ini.” katanya lagi yang secepat kilat ku keluarkan dari telinga kiri. –Tak ku hiraukan.

Ia menoleh heran. Merasa tak didengarkan.
“WOYYYY!! Ahh jadi sedari tadi aku ngomong kau nggak denger??”  melotot kesal. “Parah!! Bengong mulu...!” lanjutnya yang ku sambut dengan tawa ringan.

“Liat deh!! Bahagianya mereka..” kataku, menunjuk ke segerombolan anak-anak berbusana muslim.

Ia mengernyitkan dahinya, lalu tersenyum. “Lupa ya? Kita kan juga bagian dari mereka.. hahaha”

“Ahhh kita mah mereka edisi kedaluarsa!! Wkwk” celetukku.

Kami tertawa. Lalu terdiam. Hening.

“Kau tau? Aku punya mimpi loh..”

“Opo kuwi?”

“Bisa nggak ya.. aku ngewujudin kado terindah itu? coba sama kau pasti seru!! Hahaha”

“Maksudmu? Apa itu?”

“Hmmm.... aku pengen..” aku terdiam. Ragu-ragu mengungkapkan. “I wanna build a sweet home for them. Like that,” lanjutku, menunjuk sebuah tempat dimana anak-anak santri berbusana muslim itu berada.

Ia tersenyum. “Haha.. so do I.” katanya.

Aku melanjutkan, “I wanna build it as the best gift for my father. Pasti ayahku senang. Apalagi kalo.. ...” aku tak kuasa melanjutkan. Pipiku memerah. -_-

“Kalo aku punya mimpi yang sama, Don’t you wanna reach it together? Together with me.. ?”   (Hening) Lalu ia melanjutkan, “Let’s fight together, until our dream cames to us!!”

Aku tersenyum. Terdiam sejenak. Lalu ku katakan, “Let’s go!! Semoga ayahku dan ayahmu bahagia di surgaNya ya..!”

Kami tersenyum. Menatap langit. Lalu beranjak dari tempat suci itu. kami berlari ikuti sang mentari, tak peduli sepeda ontel yang tertinggal, tak peduli terik mentari yang mengejar. Kami tetap berlari. --Mengejar mimpi-


Sampai sebuah batu besar tak sengaja ku hantam. Aku terjatuh. Terbentur keras. Lalu kesakitan.

“ASTAGA JENAB!! Apa yang kau lakukan?? Tidur kok sampek terjun dari ranjang!!”

“Hahh??”

 Aku melotot, mengumpulkan nyawa. Lalu beranjak bangun.

“AHHHHHHH TERNYATA CUMA MIMPI?????????? Shittttttt!!!!!” -____-


*sudahending* *cumamimpikok* #LOL

***

Ternyata benar. Bukan perjalanan namanya bila tiada perubahan. Bukan kehidupan namanya bila tiada ketidakabadian. Selalu ada kisah dan sosok pembuat kisah. Selalu ada bahagia dan sosok penabur bahagia. Pun selalu ada derita dan sosok penabur derita. Canda, tawa, haru, pun pilu. Kesemuanya adalah rasa, yang kan kau cicipi bersama mereka, teman-teman kehidupan.



***the End***



 Jeparadise, 28/01/16
-dfz-

  3 comments:

  1. anjiiir cuma mimpi #lol
    d bkin novel aj itu Di, ampek mimpinya trwujud... hahha

    ReplyDelete
  2. Ditunggu mimpi selanjutnya.. dan cara bangun yg lebih "ckckckck" lagi.. hahahaaa

    ReplyDelete

Categories

Follow me on Facebook

Follow me on Tumblr

Writing is the most fun you can have by yourself. - Terry Pratchett

Powered by Blogger.
'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();
Adsense Indonesia

About Author

Hamba Tuhan yang sedang belajar menulis.

Video of Day | Click on the link below to download the video!

Popular Posts