Kamu terlihat sangat lelah. Mukamu kucel. Jilbabmu sudah jauh dari
kata rapi. Sudah tidak seperti tadi pagi yang serba wangi. Tapi kamu tak
peduli. Kamu terus berjalan melewati mereka. Lalu sempoyongan menaiki
anak tangga. Tangan kananmu menenteng sebuah plastik kresek berisi
makanan. Tangan kirimu juga membawa es kopi yang kamu beli di warung
depan. Ditambah lagi beban dipunggungmu yang sedari pagi menggendong tas
berisikan beberapa buku dan sebuah laptop. Tapi kamu bodo amat. Kamu
tetap semangat menaiki anak tangga menuju lantai paling atas. Meski
tersandung-sandung, kamu tak peduli.
Sekarang kamu sudah sampai
di tangga terakhir. Tersisa 3 anak tangga lagi untuk bisa melihat pintu
kamar kosan. Dan akhirnya kamu sampai. Sekarang kamu berdiri beberapa
meter dari pintu kamar kosmu. Hampir saja mau melangkahkan kaki, tapi
tak jadi.
Sesuatu membuatmu terkejut. Ada sosok misterius di
samping pintu kamarmu. Wajahnya samar2. Silau. Entah terkena sinar lampu
atau bagaimana. Yang jelas dia seorang lelaki berkopyah. Umurnya
mungkin sudah 50 an. Tapi dia tidak melihatmu. Karena penasaran dan
deg-degan, segera kau berbalik badan lalu kau sembunyikan badanmu yang
kurus itu di balik dinding tangga. Kamu bersembunyi di situ sambil
memantaunya dari jauh. Kamu gemeteran, tapi penasaran. Lelaki itu
tersenyum, namun sesekali menghela napas panjang tapi tidak terdengar
napasnya. Kau memantaunya terus, tanpa berkedip. Setelah beberapa menit
berdiri, ia mulai menjauh. Ia berjalan menjauhi kamarmu dengan wajah
menunduk. Jalannya cepat sekali. Kamu pun memutuskan untuk terus
mengikutinya karena penasaran.
Kamu berlari mengejarnya. Berlari
hingga napasmu tersengal-sengal. Hingga akhirnya kamu tiba di padang
pasir yang tandus dan sunyi. Tiada siapapun kecuali kau dan lelaki tadi
yang kini berjalan beberapa meter di depanmu. Kamu mengamati sekeliling.
Memang tidak ada siapa-siapa. Kamu terus mengikutinya. Tapi lama-lama
jalannya menjadi semakin pelan. Sepertinya ia kelelahan. Tak beda jauh
dengan ragamu yang akhirnya tertidur pulas di kasurmu yang penuh dengan
kertas fotocopyan.
Ia berhenti sebentar. Lalu duduk dan
meluruskan kaki. Tak lama kemudian kamu melihat seorang anak kecil
mendekatinya. Ia menggenggam sesuai. Lalu diberikan kepada lelaki paruh
baya itu. “Assalamualaikum. Pak, saya punya 2 buah apel untuk bapak.
Semoga dapat memberikan energi pada tubuh bapak.” Dengarmu samar-samar.
Lelaki itu menerimanya. Lalu memegang tangan anak kecil itu dan berkata,
“Terimakasih nak. Kalau boleh tahu, dari mana kamu mendapatkannya nak?
Pandangannya beralih ke arah apel yang digenggamnya.
“Apel pertama dari istri bapak. Apel kedua dari putri kedua bapak. Kedua
apel ini adalah wujud dari surat fathihah yang telah mereka bacakan
kepada bapak. Barusaja mereka membacanya.” Lelaki itu tertegun. Lalu meneteskan air mata. Sepertinya ia terharu.
Setelah
bicara ini itu, anak kecil itu pamit. Lelaki paruh baya itu pun lantas
memakan kedua buah apel dari istri dan putri tercintanya. Sementara kamu
sedari tadi hanya diam membisu. Namun tatapanmu masih tajam, tak
henti-hentinya mengamati perilaku lelaki misterius itu. “Ahh kenapa
wajahnya masih saja samar-samar? Tapi dari postur tubuhnya.. …” Kamu
berhenti bergumam. Air matamu menetes. Mungkin kamu lelah. Atau teringat
sesuatu?
Ya. Kamu teringat sesuatu. Kamu ingat sekarang. “Ini
malam Jumat?” Kamu mulai mengingatnya. Kamu menangis sejadi-jadinya.
Lalu berlari entah kemana. Ruhmu berlari kencang. Napasmu
tersengal-sengal. Lalu jatuh. Ambruk. Tersandung kayu yang tergeletak di
halaman depan rumah. Ya. Sekarang kamu berada di rumah. Rumah
keluargamu yang sudah kau tinggal lama. Ternyata suasana rumahmu masih
seperti biasanya. Tidak berubah. Masih sepi dan sunyi. Masih terdengar
suara jangkrik yang bersaut-sautan. Malam di rumahmu memang selalu
begitu. Tak jauh berbeda dengan suasana di padang pasir yang kau
kunjungi beberapa menit lalu.
“Buk? Ibuk? Aku pulang!” teriakmu
sambil berlari ke dalam rumah. “Ibuk? Adek? Kalian di mana?” teriakmu
lagi. Namun tidak ada balasan. Mereka tidak menjawab. Tapi kamu
mendengar jelas suara itu. Suara mereka mengaji, entah di mana. Kamu
berjalan cepat ke kamar depan. Tapi kau tak menemukannya. Lalu beralih
ke kamar belakang. Tapi tak juga ada. Lalu kau beringsut ke ruangan di
sebelahnya. Tepat. Ternyata mereka berdua sedang mengaji di ruang
persholatan. Mereka tampak khusyu’ membaca al-Qur'an. “Hmmmmm.” Kamu
menghela napas panjang. Hatimu lega. “Ibuk. Ibuk sudah baca Yasin kan?
Ima kelupaan,” katamu sambil bersandar di dinding persholatan. Lalu kamu
mendekat. Menyentuh pundak ibumu. Tapi ada yang aneh. Beliau tidak
meresponmu. “Dek?” Kamu menyapa lagi sambil menepuk bahu adikmu. Tapi
tetap saja, mereka tidak meresponmu. “Ibuk??????” Kamu jadi panik. “Ahh
apa yang terjadi dengan diriku? Mereka tidak melihatku? Mereka tidak
mendengarku??” gerutumu dalam hati. Air matamu menetes. Kamu menangis
lagi. Lalu melangkah meninggalkan mereka. Kamu berjalan gontai menuju
ruang tamu. Lalu duduk di kursinya. Kamu tertunduk. Diam. Lalu menghela
napas panjang. “Huuuhhhhhhhhhh.” Dan seketika kamu berhenti menangis.
“Maafkan aku pak, dunia memperdayaiku,” katamu lirih sambil menatap tajam ke arah jendela.
Pikiranmu
mengembara lagi. Menstimulasi kakimu untuk melangkah lari. Ya.
Lagi-lagi kamu berlari kencang. Sang waktu seolah menyeretmu. Kamu
merasa kesal, namun tak punya daya. Sepanjang jalan pikiranmu terbelah.
Kamu memikirkan Ibumu Di rumah. Pun tugas ini-itu mu yang belum juga
terselesaikan. Harusnya kamu tetap berada di rumah. Tapi kamu juga harus
meneguk kopi agar kantukmu hilang dan bisa nugas lagi. Tapi hal-hal itu
malah tak kau hirauan. Kau hanya memikirkannya namun tindakanmu
berkebalikan. Kau makin menjauhi rumah. Pun tak mampu sedikitpun
menggerakkan tangan kananmu untuk mengambil kopi. Ragamu terlalu lelap.
Sementara ruhmu hampir frustasi.
Kamu terus saja berlari. Di
hantam angin dini hari, pun diserbu cemas yang tiada henti. Langkahmu
benar-benar tidak bisa dihentikan. Kamu seperti disetir oleh intuisi.
Disetir ke sebuah tempat yang sebenarnya ingin sekali kau kunjungi, tapi
alam sadarmu tidak menyadari. Ya. Intuisi itu mengarahkan langkahmu.
Dan sekarang kau sudah sampai.
Setelah menempuh perjalanan
panjang, akhirnya kau sampai di suatu tempat yang kau kunjungi diawal
perjalananmu malam ini. Padang pasir. Ya. Kau sampai di padang pasir
lagi. Tapi sekarang kau sendiri. Benar-benar sendiri. Rasa takut dan
khawatir pun perlanan mencengkeram ruhmu. Bukan takut kegelapan, bukan.
Bukan pula takut akan kesendirian. Tapi kamu takut, kamu tidak bisa lagi
memantau perjalanan-nya; sosok lelaki misterius yang kini sudah kamu
ketahui identitasnya. Kamu takut ia kelelahan. Kamu tidak tega bila ia
sendirian. Lalu kamu memutuskan untuk tetap di situ. Kamu akan tetap
tinggal di padang pasir itu, hingga kau bisa menemukannya dan mencium
kedua tangannya. Tapi nampaknya lelaki paruh baya itu sudah pergi.
Entah. Mungkin perjalanannya masih panjang. Mungkin juga sudah sampai
tujuan.
Dadamu mulai sesak. Lalu kamu mulai terisak. “Tunggu aku! Aku ingin menemanimu!” katamu lirih.
Lelah
menangis, kamu akhirnya ambruk. Memeluk pasir. Hanyut ke dalam
mimpi-mimpi. Seperti mimpimu malam ini. Ya. Kau sejatinya sedang
bermimpi. Tak sadarkah kau?
“Ima Im.. Bangun nak! Bapak di sini!”
Tapi
suara itu bukan mimpi. Sama sekali bukan mimpi. Kamu tahu persis itu
benar-benar suara lelaki paruh baya yang sedang kau cari-cari. Lalu kau
berusaha bangun. Kau kumpulkan ruhmu. Lalu menyapanya.
“Bapak? Bapak di sini?” Ia hanya menimpalinya dengan senyum. Lalu
buru-buru pergi lagi. Ia melangkah cepat entah kemana. Seakan tidak mau
kalau kamu ikut bersamanya. “Bapak!” teriakmu lagi. Kau coba mengejar,
tapi kakimu teramat kaku. Kakimu tidak bisa digerakkan sama sekali.
“Pak, tunggu!” Tubuhmu semakin kaku. Seperti diikat kuat, tidak bisa ke
mana-mana. Lalu sekuat tenaga kau paksa kakimu melangkah. Kau
memaksanya, dengan sisa kekuatan yang kau punya. “Bapakk tungguuuuu!!!!”
Teriakanmu makin keras. Hingga akhirnya kau berhasil mendobrak pintu
alam sadarmu.
—BRAKKKKKK—– (Kamu terjun dari ranjang)
Matamu
melotot. Lalu lompat ke atas ranjang.
“Astagfirullah…. INI MALEM
JUMAT???? KU BELOM BACA YASIN!! BELOM BACA APA-APA!!!!”
Demikianlah
keluhmu, mengakhiri perjalanan mimpi di malam ini.
***
Bapak
memang begitu. Selalu saja menemuiku tiap kali aku nakal. Tapi sekarang
tidak lagi. Entah. Sudah berbulan-bulan ia tidak menemuiku lagi.
Padahal aku sedang nakal-nakalnya. Apa dia marah?
Pak, tahu
tidak? Mimpiku hampa tanpamu. Kapan alam bawah sadarku bisa menemani
perjalananmu lagi? Aku ingin tahu rasanya mati. Biar aku tidak nakal
lagi. (:
-theEnd-
Tembalangsweet, 18/10/17 | ©DFZ
#kelasmenulismediaberkarya
#kmmdk
#kmmdk03
#mediaberkarya
#dikerjakandalamtempoyangsesingkatsinfkatnya
#harapmaklum:v